JAKARTA, KOMPAS.com - Donny Irawan (35) berdiri di pintu toko rilisan fisik kaset pita miliknya di Blok M Square lantai basement. Sesekali, ia menyapa pejalan kaki yang melintas di depan toko seluas 2,5 x 3 meter tersebut.
Satu tembang dari band Bunga berjudul "Ceria" di sebuah mesin tape deck merek Sony sengaja ia putar untuk menarik perhatian.
Donny adalah satu dari puluhan pedagang rilisan fisik yang masih bertahan dan melawan arus di tengah maraknya penyedia layanan streaming musik.
"Sudah dari tahun 2012. Kalau dari tahun itu, berarti ini tahun ke-11 berdagang," kata Donny kepada Kompas.com, Jumat (4/8/2023) siang.
Bagi Donny, berjualan kaset pita adalah cara ia menikmati sebuah seni sambil mengais rezeki. Barang-barang analog yakni pemutar piringan hitam, tape deck, gramafon, hingga reel to reel ia jual di toko bernama Waterhouse.
"Gue pengin kenalin ke orang-orang bahwa yang makin tua, itu makin jadi. Yang analog, itu makin jadi," ujar Donny.
Berbagai band dari genre musik pop, rock, death metal, hingga melayu bisa ditemukan di toko kasetnya.
Donny memang menjual kaset-kaset pita, baik dari band lokal atau luar negeri.
"Kenapa analog, dari segi suara, sama isi, ketika didengar, ini beda. Di kaset ini, lebih puas, lebih kedengaran, lebih pure dibanding digital," jelas Donny.
Uang jutaan rupiah itu ia dapatkan dari album-album langka di pasaran yang memang banyak dicari oleh kolektor rilisan fisik.
"Kalau buat omzet sih antara Rp 500.000-Rp 3 juta. Tergantung ramai apa enggaknya. Sama koleksi juga sih, kalau gue punya koleksi rare kaset pita, itu nendang di omzet juga. Lumayan," ucap Donny.
Donny lantas memberi contoh. Ia pernah menjual piringan hitam album "Terbaik Terbaik" grup band Dewa-19.
Untuk satu piringan hitam, ia pasang harga Rp 1 juta. Saat itu, Donny berhasil menjual dua vinyl album tersebut.
"Nah, gue pernah jual tuh dalam satu hari, dua vinyl (piringan hitam). Itu sudah Rp 2 juta. Sudah lumayan, buat bawa pulang ke dapur," ungkap Donny sambil tertawa.
Meski demikian, kata Donny, perjuangan untuk modal mencari rilisan album fisik yang lain juga tak selalu mulus.
Dirinya bahkan tak jarang berselancar di internet untuk membeli album fisik yang memang banyak dicari oleh para pelanggannya.
"Kesulitannya sih paling cari-cari (album) yang aneh-aneh ini (album langka). Sampai buka situs jual-beli luar negeri, karena butuh koleksi yang memang jarang. Itu yang nge-jual, dan kalau pun dapat, harganya lumayan," imbuh dia.
Kata konsumen
Sementara itu, salah satu pengunjung yakni Franz Wewengkang (25) punya alasan yang kuat mengapa dirinya masih berburu kaset fisik.
Selain karena harganya yang masih bisa dijangkau, ia juga menyebut tidak semua album musisi yang ia suka, dirilis dalam format digital.
"Ada beberapa album yang gue suka, belum ada di Spotify. Jadi, ini alasan bakal terus koleksi rilisan fisik," ujar Franz.
Sebagai contoh, kata Franz, album Guruh Gipsy, yang berjudul sama dengan nama band tersebut, tidak dapat ditemukan di layanan streaming.
Pria asal Tangerang itu bahkan merogoh kocek hingga Rp 500.000 demi mendapatkan rilisan album fisik "Guruh Gipsy".
Selain itu, proses berburu album untuk kemudian diputar di media analog menjadi kepuasan tersendiri yang tidak bisa diperoleh dengan layanan musik streaming.
"Koleksi rilisan fisik itu ada sensasinya sendiri. Ketok-ketok kaset kalau macet, gulung pita kaset pakai pensil atau dengar noise (gangguan) waktu awal kaset diputar, itu sensasinya beda," ucap Franz sambil tertawa.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/08/06/10432911/berburu-cuan-sembari-merawat-kenangan-dari-kaset-pita-dan-piringan-hitam