JAKARTA, KOMPAS.com - Penangkapan muncikari yang diduga melakukan praktik prostitusi pada anak di bawah umur di wilayah Johar Baru, Jakarta Pusat, perlu jadi perhatian orangtua.
Dengan mudahnya, FEA menggaet 21 anak ke dalam bisnis haram yang ia kendalkan sejak April lalu. Dijerat melalui jaringan pergaulan, anak-anak itu kemudian "dijajakan" di media sosial.
Adapun kasus prostitusi anak serupa juga pernah terjadi tepat setahun lalu. Kasus tersebut terungkap di salah satu hotel di Jalan Jaha, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis (22/9/2022) dini hari.
Muncikari menawarkan jasa prostitusi online perempuan yang masih di bawah umur kepada para hidung belang itu melalui aplikasi MiChat dari berbagai ponsel.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra melihat, anak-anak yang dikorbankan dalam prostitusi online seringkali merupakan anak anak yang telah kehilangan figur berlapis.
"Karena tidak bisa diselamatkan, mulai dari tingkat keluarga, sekolah dan lingkungan terdekatnya. Yang akhirnya di rebut bisnis prostitusi," ucap Jasra kepada Kompas.com, Senin (25/9/2023).
Sebenarnya, kata Jasra, anak-anak yang terlibat dalam prostitusi adalah rangkaian masalah yang tidak selesai. Prostitusi hanya puncak dari masalah tersebut, yang sebelumya tidak tertangani.
Memanfaatkan kondisi keluarga anak
Dalam pengalaman KPAI melakukan asesmen terhadap remaja putri yang terjerat prostitusi, Jasra menerangkan, terungkap adanya jejaring bisnis yang saling terikat dalam upaya menjebak anak.
Hal ini yang terjadi di Pasar Minggu, Muncikari merekrut anak perempuan yang keluarganya tak harmonis atau broken home dan tidak mendapat perhatian orangtua.
Menurut Jasra, muncikari akan akan memanfaatkan beragam cara, mulai dari memanfaatkan kondisi orang tua yang akhirnya mau melepas anak, ataupun anak yang direkrut teman sebaya.
"Sehingga ada situasi pemanfaatan berlapis atas kondisi anak, yang mudah direkrut. Ada yang justru orang tuanya di penuhi kebutuhannya dari bisnis ini," ungkap Jasra.
Mirisnya, kata Jasra, bahkan ada anak anak yang sudah tidak mau kembali ke orang tuanya meski sudah dijemput dengan berbagai cara.
Di sisi lain, ada pula yang terancam akan diumumkan sosoknya oleh para pelaku apabila berusaha kabur. Selain itu, ada orangtua yang putus asa jika mengurus persoalan anaknya secara hukum.
"Kebanyakan karena proses hukumnya seperti lapisan bawang, jadi sulit dijerat. Dan mereka kehabisan energi untuk meneruskannya," ucap Jasra.
Sejauh ini, kata Jasra, permasalahan prostitusi anak itu masih sangat kompleks karena yang ditangani sekarang adalah puncak dari masalah.
"Sehingga kalau mau tuntas harus mengurai masalah sebelumnya, baik di rumah, sekolah dan lingkungan mereka. Kita harus merunut riwayat pengasuhan anak,'" ucap Jasra.
Patok tarif tiap transaksi
Dalam kasus prostitusi yang baru diungkap polisi ini, FEA menjalankan aksinya dengan menawarkan tarif pada anak-anak itu mulai dari Rp 1,5 juta hingga Rp 8 juta per jamnya.
Adapun FEA disebut mendapat bagian sebesar 50 persen dari setiap transaksi prostitusi anak di bawah umur tersebut. Praktik ini FEA jalankan sejak April hingga September ini.
"Awal mula bisa masuk dan mengenal tersangka dari jaringan pergaulan. Sebagian besar anak korban masih sekolah," ujar Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirkrimsus) Polda Metro Kombes Ade Safri Simanjuntak, Minggu (24/9/2023).
Ade menjelaskan, FEA "memasarkan" korban-korban itu di media sosial. Setelah ada pelanggan, FEA langsung memanggil korban terpilih.
"Korban akan dipanggil oleh tersangka kalo ada booking-an," ujar Ade Safri.
Polisi masih mencari kemungkinan tersangka lain pada kasus prostitusi anak secara daring ini. Diketahui, polisi baru menangkap FEA yang berperan sebagai muncikari para korban.
"Sementara hasil gelar perkara satu orang ditetapkan sebagai tersangka. Dia pekerjaannya ibu rumah tangga," jelas Ade.
Polisi akan terus mendalami penyelidikan lebih lanjut terkait hal ini.
"Ini akan didalami kembali dengan serangkaian upaya penyelidikan oleh penyidik, dan langkah tindaklanjutnya berkoordinasi dengan instansi terkait," jelas Ade.
Atas dasar ini, FEA terjerat Pasal 27 ayat 1 jo Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
FEA juga bisa dijerat Pasal 296 dan atau Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan atau Pasal 4 ayat 2 jo Pasal 30 UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan atau Pasal 2 jo Pasal 17 UU Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Dan juga Pasal 76I jo Pasal 88 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/09/25/17150081/anak-anak-rentan-jadi-korban-prostitusi-online-kpai-mereka-kehilangan