Sehingga nama halte yang menggunakan nama komersial akan "dinetralisasi" menjadi nama daerah setempat.
Upaya ini sebenarnya positif karena sebagai BUMD tentunya Transjakarta harus bisa memikirkan sektor pemasukan lain termasuk dari sektor iklan. Seperti yang dilakukan oleh MRT Jakarta yang menjual penamaan stasiun ke beberapa perusahaan.
Meski begitu, ada beberapa halte yang penamaannya kurang tepat. Misal, halte Garuda Taman Mini yang berubah menjadi halte Makasar.
Secara sosiologis warga Jakarta Timur mengenal daerah Makasar bukan di titik halte tersebut, melainkan kelurahan yang jaraknya masih sekitar 2 Km dari halte tersebut.
Sementara titik halte Makasar dikenal oleh masyarakat di sana sebagai daerah "Garuda".
Saya sendiri menghabiskan masa kecil sampai saat ini di wilayah tersebut sudah terbiasa dengan penamaan Garuda, termasuk tanpa embel-embel "Taman Mini" karena halte itu masih berjarak sekitar 1,5 Km dari apa yang masyarakat setempat kenal sebagai Taman Mini.
Begitu juga halte Budi Utomo yang berubah menjadi halte Lapangan Banteng, meski lokasinya jauh dari Lapangan Banteng.
Atau halte UNJ menjadi Rawamangun, padahal sangat jauh dari apa yang masyarakat Jakarta kenal sebagai "Rawamangun". Apalagi Rawamangun merupakan nama terminal.
Penamaan yang kurang tepat berpotensi menyesatkan orang. Misal ada orang mau ke Makasar, ketika sudah (atau baru?) sampai halte Makasar, orang tersebut merasa sudah sampai Makasar, padahal masih berjarak sekitar 2 Km dari Makasar.
Begitu juga orang yang mau menuju Lapangan Banteng bisa salah turun di Lapangan Banteng, padahal ada shelter lain yang lebih dekat seperti halte Pasar Baru (beruntung namanya tidak diubah).
Atau orang yang tidak biasa ke terminal Rawamangun lalu mau naik bis bandara, bisa salah turun di tempat yang sebenarnya adalah UNJ.
Selain kurang tepat, masalah lain adalah penamaan yang seperti asal memberikan nama. Contoh halte Tendean yang menjadi halte Tegal Mampang.
Mungkin yang dimaksud PT Transjakarta adalah perpaduan wilayah Tegalparang dan Mampang, namun nama ini pastinya bukan nama yang dikenal masyarakat.
Saya tidak tahu apa pertimbangan PT Transjakarta melihat nama Tendean atau nama pahlawan lain yang menjadi nama halte Transjakarta seperti Radin Inten, Adam Malik dll, sebagai nama yang "harus dinetralkan".
Padahal pemberian nama pahlawan sebagai nama jalan merupakan upaya negara melestarikan dan menghargai pahlawan.
Atau halte RS Harapan Bunda yang berubah menjadi halte Trikora. Bertahun-tahun saya lewat daerah situ tidak pernah sekalipun mendengar, baik dari masyarakat sekitar maupun dari kondektur bis/awak angkutan yang saya naiki bahwa wilayah RS Harapan Bunda disebut sebagai "Trikora".
Ada wilayah Trikora di Jakarta Timur, namun letaknya ada di kelurahan Halim, alias menunjukkan sekali lagi ketidaktepatan penamaan halte.
Yang unik halte TU Gas yang berubah menjadi Pemuda Merdeka. Terdengar seperti slogan yang harusnya diperdengarkan saat peringatan Sumpah Pemuda, namun kurang tepat jika daerah tersebut disebut Pemuda Merdeka.
Apalagi nama Merdeka sudah menjadi nama merk kue soes sampai nama Restoran Padang.
Penamaan nama halte dengan nama instansi seperti BKN, BNN hingga Samsat sebenarnya jauh dari kesan komersial. Bahkan bisa menjadi petunjuk bagi masyarakat yang akan ke tempat tersebut.
Halte Samsat Dispenda Jakbar, misalnya, namanya bisa menjadi petunjuk masyarakat yang memang mau ke Samsat.
Atau beberapa nama halte yang jauh dari nama komersial ikut diganti. Contoh halte Olimo yang menjadi Taman Sari. Kebon Pala menjadi Matraman Baru. Latuharhary menjadi Flyover Kuningan.
Contoh-contoh penggantian tersebut jelas menunjukkan tujuan penetralan dan penggunaan nama daerah sekitar tidak terlaksana.
Maka Transjakarta harus meninjau ulang nama-nama tersebut. Adakan pula FGD yang mengundang masyarakat sekitar, sosiolog, hingga sejarawan untuk menentukan nama halte yang tepat.
Tidak usah terlalu alergi dengan nama merk yang sudah mendarah daging di daerah tersebut seperti nama Carolus, UI, UKI dan beberapa nama lain karena memang secara sosiologis itulah nama yang diberikan masyarakat kepada daerah tersebut.
Konon meski merk berubah atau bahkan sudah tidak beroperasi, nama tempat sulit berubah seperti halte Palputih yang masih banyak dikenal sebagai Rivoli atau halte BNN (sekarang jadi Cawang Cililitan) masih banyak dikenal orang sebagai daerah "Mayasari", meski sudah dua dekade lebih Mayasari sudah tidak di situ.
Meski begitu, ada beberapa nama halte yang berubah ke nama yang tepat seperti Cipinang Kebonanas menjadi Kebonanas, hingga Pasar Induk Kramat Jati yang menjadi Pasar Induk.
Nama-nama tersebut memang nama yang biasa dipakai masyarakat sebelum kehadiran halte Transjakarta di sana. Nama tersebut yang sebenarnya tepat digunakan.
Penulis usul halte Flyover Raya Bogor agar diubah menjadi Halte Pasarebo karena faktanya sampai sekarang pun pengguna Transjakarta mengenalnya sebagai halte Pasarebo.
Penamaan yang tepat akan menambah kepuasan pelanggan Transjakarta karena mereka akan lebih mudah mencari tujuan terutama tujuan yang mereka belum kenal. Selain itu tentunya melestarikan sejarah setempat.
https://megapolitan.kompas.com/read/2024/01/15/09475581/penggantian-nama-halte-transjakarta-yang-kurang-cermat