JAKARTA, KOMPAS.com - Sivitas Akademika Universitas Negeri Jakarta (UNJ) mendesak pemerintah pusat dan daerah agar menjunjung tinggi netralitas dalam pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Dalam salah satu dari sepuluh penyataan sikap, Sivitas Akademika UNJ merujuk pemerintah pusat dan daerah seperti Presiden Joko Widodo, Gubernuer, Bupati/Wali Kota, Camat, Lurah, dan Kepala Desa.
Dalam hal ini, mereka juga mendesak aparat penegak hukum untuk tidak memihak dan mengintervensi jalannya proses Pemilu 2024.
“Tidak melakukan cawe-cawe politik, intimidasi, dan politik uang, serta tidak menggunakan fasilitas negara atas dasar kepentingan kelompok, kerabat atau golongan yang menyimpang dari koridor demokrasi dan konstitusi dalam menjalankan roda pemerintahan,” kata Dosen Sosiologi Pembangunan UNJ, Yunita Apriandini di Plaza UNJ, Rawamangun, Pulogadung, Jakarta Timur, Selasa (6/2/2024).
Dalam pernyataan sikap yang lain, Sivitas Akademika UNJ menilai fenomema politik di Indonesia saat ini sangat membahayakan masa depan demokrasi.
“Karena perilaku oknum elit politik yang telah mempertontonkan praktek kekuasaan yang mengabaikan nilai-nilai moral, etika dan hukum,” ujar Yunita.
Sementara itu, Sivitas Akademika UNJ juga menyoroti beberapa kasus atau permasalahan di penghujung era kepemimpinan Presiden Joko Widodo alias Jokowi.
Antara lain adalah kasus Ferdy Sambo, kasus narkoba di kepolisian, kasus transaksi Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan,dsn kasus penggusuran paksa di Pulau Rempang.
Ada juga permasalahan pelanggaran kode etik serta perilaku eks Ketua Mahkama Konstitusi Anwar Usman dan temuan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) soal perputaran uang Rp 3,7 triliun dari tambang ilegal yang mengalir ke tim kampanye.
“Terjadinya polarisasi politik menjelang pelaksanaan Pemilu 2024 yang telah menimbulkan berbagai kekisruhan sosial dan politik,” kata Kepala Program Studi Pendidikan Sosiologi UNJ, Ubedilah Badrun dalam kesempatan yang sama.
“Yang kelihatannya mencapai puncaknya (polarisasi politik pada kejadian terkini, ketika Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memberi sanksi peringatan keras kepada Ketua KPU Hasyim Asy’ari dan anggota KPU lainnya karena melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara Pemilu,” lanjutnya.
Permasalahan Hasyim, kata Ubedilah, merujuk terhadap keputusannya yang menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres).
“Padahal, saat itu, Peraturan KPU (PKPU) masih mengharuskan calon memiliki usia minimal 40 tahun,” tegas Ubedilah.
https://megapolitan.kompas.com/read/2024/02/06/18364811/jokowi-dan-aparat-penegak-hukum-didesak-netral-dalam-pemilu-2024