Namun di balik itu, sejumlah marbut masjid mempunyai perjalanan spiritual sebelum akhirnya melakoni tugas tersebut, salah satunya Tamin (65), marbut di Masjid Al Jabr, Pondok Labu, Cilandak, Jakarta Selatan, sejak 16 tahun terakhir.
Kepada Kompas.com, Tamin mengisahkan sepotong perjalanan hidup yang menurutnya merupakan garis kehidupan dari Sang Pencipta.
Bermain gaple
Tamin mengaku sempat berprofesi sebagai kondektur bus milik Perusahaan Umum (Perum) Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD).
Dalam momen-momen tertentu, ia kerap bermain kartu bersama teman-teman yang lain dengan menggunakan uang. Alhasil, kegiatan ini menjadi kebiasaan dan terbawa ke lingkungan lain.
“Waktu saya masih punya anak tiga, bandelnya saya itu bukan bandel yang enggak benar, bukan bandel yang begitu. Saya tuh main gaple, main remi, itu bandelnya,” kata Tamin saat ditemui di Masjid Al-Jabr, Senin (18/3/2024).
Ingat kematian
Setelah terus-menerus bermain gaple dan remi, kegiatan itu rupanya membuat Tamin berpikir tentang kematian.
Ayah empat anak itu khawatir tidak ada anggota keluarganya yang merapalkan doa saat ia telah tiada.
Dengan begitu, pria dengan pendidikan terakhir Sekolah Dasar (SD) di Pondok Labu ini menyuruh anak pertamanya untuk belajar mengaji.
“Yang saya bilang tadi ke anak pertama, 'belajar ngaji gih. Kalau lu enggak bisa ngaji, kalau Baba mati, yang ngajiin siapa? Ya sudah, ngaji deh, nanti Baba yang anterin'. Ya orang saya main gaple mulu, enggak bisa ngaji,” ungkap Tamin.
Selama proses mengantar anak sulungnya yang saat itu masih berusia 10 tahun, sedikit demi sedikit Tamin mulai mendapatkan hidayah dari Tuhan Yang Maha Esa.
“Iya (gara-gara ingat mati). Saat nunggu anak saya, saya tertarik saat dengar orang mengaji, 'enak banget orang ngaji ya’, gitu. Padahal enggak bisa mengaji,” kata Tamin.
Proses belajar
Alhasil, sekira tahun 1990-an, Tamin mencari guru yang bisa mengajarkannya huruf-huruf hijaiyah. Bersamaan dengan itu, ia juga menekuni akidah Islam ke guru lain.
“Belajar akidah di Citayam saya. Nah di situ, saya baru sadar di situ. Habis itu memperdalam lagi dan lagi. Tahun 1996, saya mulai mengajar ilmu tauhid,” imbuh Tamin.
Menjadi marbut
Usai melepas pekerjaannya sebagai kondektur, Tamin menjadi petugas keamanan di salah satu SD yang satu yayasan dengan Masjid Al Jabr.
Namun, pekerjaannya itu tidak bertahan lama. Dia dipindahtugaskan menjadi marbut Masjid Al-Jabr.
Tak ada penolakan. Tamin justru menganggapnya sebagai garis kehidupan yang telah ditunjukkan oleh Sang Pencipta.
“Kan kita, maaf ya, kalau jiwa sudah tua, mau cari pekerjaan apa? Ya kita ibaratnya sambil ibadah saja di Masjid. Jadi, keuntungan jadi marbut ya beribadah. Enggak (ada penolakan), memang sudah tua, mau ngapain? Ikhlas saja,” ungkap Tamin.
“Lah iya. Saya juga enggak sangka bisa jadi marbut. Itulah rahasia Allah. Kalau sudah rahasia Allah, apa pun yang terjadi, itulah,” pungkasnya.
Untuk diketahui, istri Tamin dan dua anaknya telah menghadap Sang Pencipta. Tetapi, dua anak lainnya kini juga menjadi imam di Masjid Al Jabr tersebut.
https://megapolitan.kompas.com/read/2024/03/20/05275311/sepenggal-perjalanan-spiritual-marbut-masjid-di-jakarta-selatan