Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Harus Ambil Alih Indosat

Kompas.com - 08/01/2008, 18:26 WIB

JAKARTA,SELASA - Pemerintah didesak untuk mengambil alih PT Indosat dari kepemilikan oleh pihak asing untuk kemudian ditetapkan sebagai BUMN murni karena divestasi Indosat pada tahun 2003 diduga menyalahi ketentuan konstitusi, Tap MPR dan perundang-undangan.

Hal itu ditegaskan Ketua Dewan Pendiri Penyelamat dan Pembela Aset Telekomunikasi Indonesia (Pepati) H Ismail SH dan Ketua Pepati Ir Syahrul Akhyar dalam pertemuan dengan Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) DPR RI Effendy Choirie (Gus Choi) di Gedung DPR/MPR Jakarta, Selasa (8/1).

Ismail menyatakan, sudah saatnya anggota DPR RI bergerak untuk bersama-sama masyarakat menyelamatkan aset negara dari penguasaan asing. Anggota DPR didesak untuk peka dan sadar mengenai pentingnya pengembalian aset nasional yang dikuasai pihak asing.

Pengembalian aset asing, terutama Indosat bisa dilakukan melalui berbagai cara dan pemerintah serta DPR bisa melakukakannya asalkan memiliki kemampuan. Divestasi saham Indosat pada tahun 2003 diduga menyalahi sejumlah ketentuan dan diduga melibatkan pejabat negara waktu itu. Karena itu, Pepati mendesak agar dilakukan pengusutan dan proses hukum terhadap pejabat dan mantan pejabat yang menyetujui pelepasan saham Indosat.

Pelepasan saham Indosat kepada perusahaan telekomunikasi Singapura dinilai Pepati bukan sekadar privatisasi atau divestasi, tetapi sebagai kebijakan yang menimbulkan ancaman bai keamanan RI.  "Divestasi Indosat sarat dengan sejumlah kebohongan publik. Misalnya mengenai siapa yang benar bertindak selaku pembeli Indosat. Sebelumnya, pemerintah yang terdaftar sebagai salah satu calon pembeli Indosat adalah sebuah perusahaan Singapura bernama Singapore Tchnologies Telemedia (STT). Tetapi terungkap saat penandatanganan kontrak jual-beli, pembelinya adalah perusahaan asal Mauritius yang bernama Indonesia Communication Limited," katanya.
   
Syahrul Akhyar mengemukakan, divetasi saham Indosat kepada negara lain tahun 2003 sangat merugikan dan melukai hati rakyat. Satelit Indosat yang semula bisa menjadi mata, telinga dan hati bansga dan negara kini bukan lagi milik Indonesia. Apalagi Indosat dijual ketika dalam kondisi sehat dan meraih kentungan besar bagi negara.

Pelepasan saham mayoritas aset strategis sekaliber Indosat dinilai Pepati melanggar konstitusi Pasal 33 UUD 1945. Aset strategis yang menyangkut kepentingan negara dan rakyat harus tetap dikuasai dan dikendalikan negara. "Presiden Soekarno dan Soeharto berupaya melakukan nasionalisasi aset yang semula dikuasai pihak asing menjadi milik pemerintah Indonesia. Namun pada era reformasi, malah aset negara diobral seenaknya," kata Syahrul.

Selain melanggar konstitusi, penjualan saham mayoritas Indosat juga melanggar Tap MPR dan UU. Dalam proses jual-belinya, diduga ada penipuan lewat penggunaan "Special Purchase Vehicle" (SPV) ICL. Yang paling memprihatinkan, harga jual saham Indosat saat itu rendah sekali.

Pepati menganggap ada tujuh pelanggaran dalam divestasi saham Indosat kepada pihaka sing. Pertama, Tap MPR No. IV/1999 bahwa BUMN/BUMD harus efisien, transparan dan profesional. BUMN yang tidak berkaitan langsung dengan kepentingan umum didorong agar dilakukan privatisasi melalui pasar modal.

Kedua, Tap MPR No.VIII/2000 bahwa program restrukturisasi dan privatisasi BUMN dilaksanakan secara transparan sesuai dengan target yang ditetapkan dalam APBN tahun 2000. privatisasi agar dilakukan secara selektif dan dikonsultasikan terlebih dahulu dengan DPR.

Ketiga, berdasarkan Tap MPR No.X/2001, harus dilakukan penyusunan "action plan" yang komprehensif termasuk kerangka regulasi sektoral yang disepekati bersama DPR. Keempat, Tap MPR No.VI/2002 juga menegaskan bahwa privatisasi BUMN harus dilakukan secara sangat selektif, transparan dan hati-hati setelah berkonsultasi dengan DPR.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com