Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Museum Bahari dan Pelabuhan Sunda Kelapa Tempat Wisata Andalan

Kompas.com - 10/01/2008, 22:39 WIB

Pelabuhan Sunda Kelapa

Berwisata murah meriah terus berlanjut hingga ke Pelabuhan Sunda Kelapa, yang kini menjadi pelabuhan bongkar muat barang. Setiap hari, para buruh pelabuhan sibuk naik turun membongkar muatan kapal, seperti aktivitas menurunkan kayu yang berasal dari Kalimantan. Di dermaga, berjajar kapal-kapal pinisi atau bugis schooner dengan bentuk khas, meruncing di salah satu ujungnya dan berwarna-warni pada badan kapal.

Pelabuhan Sunda Kelapa sebenarnya telah akrab berhubungan dengan bangsa-bangsa lain sejak abad XII. Kala itu, pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan lada milik kerajaan Hindu di Jawa Barat, Pajajaran. Kapal-kapal asing yang singgah dan berdagang dengan pedagang lokal, antara lain, berasal dari China, Jepang, India Selatan, dan Arab. Mereka berlabuh dan membawa berbagai barang, seperti porselen, kopi, sutra, kain, wewangian, kuda, anggur, dan zat warna guna ditukar dengan rempah-rempah yang jadi kekayaan Tanah Air saat itu.

Portugis adalah bangsa Eropa pertama yang tiba di Sunda Kelapa pada 1512 untuk mencari rempah-rempah yang amat diminati dunia Barat. Keberadaan mereka ternyata tidak berlangsung lama. Gabungan kekuatan Kerajaan Banten dan Demak dipimpin Sunan Gunung Jati atau dikenal dengan nama Fatahillah menguasai Sunda Kelapa dan mengganti namanya menjadi Jayakarta atau kemenangan yang nyata pada 22 Juni 1527.

Sunda Kelapa hanya sepi sesaat dari gangguan bangsa barat. Belanda tiba tahun 1596 dengan tujuan yang sama, yaitu mencari rempah-rempah. Rempah-rempah menjadi komoditas andalan. Para pedagang Belanda awalnya mendapat sambutan hangat dari Pangeran Wijayakrama. Namun, hubungan mesra tersebut buyar saat Belanda mengingkari perjanjian perdagangan dan mendirikan benteng di selatan Pelabuhan Sunda Kelapa. Lambat laun, hubungan pun berubah menjadi penjajahan.

Benteng tersebut dibangun tahun 1613, sekitar 200 meter ke arah selatan Pelabuhan Sunda Kelapa. Pada 1839, di lokasi itu didirikan Menara Syahbandar yang berfungsi sebagai kantor pabean, atau pengumpulan pajak dari barang-barang yang diturunkan di pelabuhan. Lokasi menara menempati salah satu bastion (sudut benteng), sekaligus menandai monopoli perdagangan di Nusantara.

Kini kawasan sekitar kompleks bangunan bersejarah itu penuh permukiman tak teratur, cenderung kumuh, dan di banyak tempat ditemukan tumpukan sampah. Menara Syahbandar tampak memprihatinkan dengan jendela kayu yang jebol dan bangunan mulai miring.

Padahal, kompleks kawasan bersejarah itu termasuk dalam perencanaan pembangunan koridor sejarah Jakarta yang dicanangkan sejak masa Ali Sadikin. Berkali-kali pemimpin Jakarta berganti, gagasan revitalisasi kota tua termasuk di dalamnya realisasi pembangunan koridor sejarah Jakarta, hanya sebatas rencana di atas kertas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com