BEBERAPA tahun lalu mendengar berita tentang dirilisnya film drama kolosal yang dibintangi oleh dua orang mantan menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), yakni Yusril Ihza Mahendra (berperan sebagai Laksamana Cheng Ho) dan Saifullah Yusuf (sebagai Raja Majapahit) dalam film Laksamana Cheng Ho, mengingatkan saya pada museum Cheng Ho di Semarang yang pernah saya kunjungi sewaktu saya masih mahasiswa, dan kabarnya sekarang museum Cheng Ho yang di Semarang ini lebih luas, lebih lengkap dan lebih indah.
Di Malaka, terdapat Museum Cheng Ho yang sangat luas dan lengkap walau dari depan nampak seperti kecil saja dan lokasinya dekat dengan Jonker Walk, yang pada hujung minggu di malam hari ada semacam pasar malam yang banyak dikunjungi oleh turis.
Museum Cheng Ho yang diyakini dulunya merupakan tempat laksamana yang beragama Islam ini menyimpan barang atau menjadikan gudang saat kapalnya melewati dan berlabuh di Kota Melaka.
Hal ini diyakini dengan ditemukannya reruntuhan arsitektur dan barang barang peninggalan sejarah dari Dinasti Ming yang ada di dalam gedung yang sekarang dipamerkan kepada khalayak umum.
Di antaranya bermacam-macam bentuk guci dari Dinasti Ming, gong dengan hiasan ular naga di tengahnya, khas kebudayaan China, yang konon digunakan sebagai salah satu alat komunikasi selain bendera, lentera, dan burung merpati.
Selain itu, benda-benda yang dipamerkan seperti patung Laksamana Cheng Ho saat kanak-kanak bersama teman dan kakeknya serta replika kapal layar lengkap dengan formasi kapalnya yang sangat banyak dan ada pula barang barang yang dihadiahkan oleh keturunan Cheng Ho di Yunan.