Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Edi Rusyana, Hijaukan Kalbu Murid Sekolah

Kompas.com - 09/06/2011, 12:16 WIB

Pada musim kemarau, sungai kecil di pinggir sekolah itu sering kering. Fenomena ini juga dimanfaatkan Edi untuk mengambil pelajaran bahwa semua itu akibat wilayah tangkapan air yang tak berfungsi. Misalnya, di daerah tandon air, sebuah pohon cukup besar yang tumbuh dengan baik bisa menghasilkan sekitar 7 meter kubik air terus-menerus.

Manfaat langsung bagi manusia, pohon besar itu mampu menyediakan oksigen bagi 14 orang setiap hari. Melalui pemahaman itu, murid sekolah langsung bereaksi jika di lingkungannya terdapat penebangan pohon yang tak benar.

Apalagi, pohon yang ditebang itu terletak di daerah mata air yang menghidupi lingkungan tempat tinggal mereka. Untuk memperkuat pemahaman tersebut, lingkungan sekolah dibiarkan tak berpagar tembok, tetapi diberi tanaman hidup pohon mahoni dan jati. Oleh karena lingkungannya dinilai hijau lestari, tahun 2009/2010 sekolah ini mendapat penghargaan Adiwiyata sebagai sekolah hijau terbaik Provinsi Jabar.

”(Sekolah ini) kami pilih karena sekolah yang berkomitmen langsung terhadap lingkungan bisa dihitung dengan jari,” ujar Anang Sudarna, mantan Kepala Dinas Kehutanan Jabar.

Sebelum penghijauan di lingkungan sekolah itu dilakukan, Edi berguru kepada Dinas Kehutanan Perkebunan, Perum Perhutani, Balai Konservasi Sumber Daya Alam, dan Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Ciamis. Tujuannya, ruang hijau di lingkungan sekolah tertata apik.

Dari hasil kreativitasnya itu terbangun kawasan hijau sekitar 1,5 hektar. Bangunan sekolah yang digunakan untuk kegiatan belajar-mengajar 11 kelas sekitar 5.500 meter persegi. Satu kelas di SMPN 7 Ciamis rata-rata berisi 25 murid.

Hijau itu mutlak harus dilihat, tak hanya imajinasi dalam mata pelajaran di ruang kelas. Lewat metode ini, murid pun senang bermain dan berkeliling mengamati pepohonan di luar kelas. Mereka tak ”tersiksa” lagi menerima pelajaran karena tidak terkungkung di ruangan.

Pemaknaan dari perspektif budaya hijau itu dinilai lebih dalam karena sebelumnya mereka sudah mengenal berbagai jenis pohon di sekitar kampungnya. ”Sebagian besar murid adalah anak-anak petani di pedesaan,” ujar Edi.

Hasil proses belajar-mengajar seperti itu terbukti membuat banyak alumnus tertarik bidang pertanian. Tak sedikit dari mereka melanjutkan ke sekolah kejuruan bidang pertanian. Padahal, sebelumnya, lulusan SMP itu dipaksa pun tak banyak yang tertarik melanjutkan ke jurusan pertanian.

Mendapat perhatian

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com