Jika kondisi seperti ini dibiarkan, Jakarta akan menuju titik nadir kota yang mati.
”Kota Tua adalah potret kecil Jakarta. Jika pembenahan Kota Tua tidak berhasil, Jakarta akan mengalami nasib yang sama, menjadi kota mati,” kata Koordinator Peta Hijau Jakarta Nirwono Joga di sela-sela peluncuran Peta Hijau Kota Tua ”Jakarta Dulu, Potret Kini”, Minggu (24/7).
Peta Hijau Kota Tua ”Jakarta Dulu, Potret Kini” memberi gambaran kondisi lingkungan, sosial budaya, dan bangunan di kawasan Kota Tua. Ada 100 lokasi yang dimasukkan dalam Peta Hijau Kota Tua, tetapi hanya 76 lokasi yang diberi informasi lengkap.
Sekitar 100 peserta peluncuran Peta Hijau Kota Tua dari sejumlah komunitas menyusuri beberapa rute untuk melihat kondisi yang digambarkan di peta. Mereka menempuh perjalanan sekitar 7 kilometer, dari Gedung Arsip Nasional menuju Museum Sejarah Jakarta, melewati perkampungan di sekitar Tanah Sereal dan Roa Malaka.
”Seperti kita lihat, banyak
Dampaknya, drainase tidak lancar, air sungai berwarna hitam dan bau, permukiman padat berimpitan di jalan-jalan sempit, serta lingkungan kumuh dan banjir menjadi persoalan yang tidak terhindarkan. Kondisi semacam ini tipikal dengan kawasan-kawasan lain di Jakarta.
Jakarta, lanjut Nirwono, dilihat sebagian besar warganya sebatas tempat untuk mencari uang. Tidak ada semacam rasa memiliki yang membuat warga tergerak untuk turut membenahi kota. Akibatnya, ibu kota negara ini hanya akan mengalami permasalahan yang sama dari waktu ke waktu. ”Kota ini ibarat sapi perahan yang, jika dibiarkan saja, barangkali 5-10 tahun lagi bisa jadi kota mati,” ujarnya.
Peta Hijau Kota Tua ”Jakarta Dulu, Potret Kini” diharapkan bisa menjadi penyadaran bagi masyarakat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk membenahi lingkungan sekitar Kota Tua. Sebelumnya, tahun 2005, pernah dibuat Peta Hijau Kota Tua.