Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jalan Berliku dalam Pilkada Banten

Kompas.com - 06/09/2011, 03:12 WIB

Fasilitas anggaran

Modus lainnya adalah memanfaatkan APBD untuk kepentingan pemenangan pilkada. Pembajakan APBD itu tercium kuat ketika anggaran hibah Banten melonjak gila-gilaan mulai 2010. Indonesia Corruption Watch (ICW) melansir, alokasi dana hibah Banten pada 2009 hanya Rp 14 miliar, tetapi pada 2010 menjadi Rp 239,27 miliar dan tahun ini Rp 340,46 miliar.

Dari Rp 340 miliar itu, sebanyak Rp 29 miliar diterima 14 lembaga yang dipimpin keluarga dan kerabat petahana Ratu Atut Chosiyah. Bagian lainnya dari dana hibah digunakan untuk membiayai umrah 150 tokoh, forum silaturahim pondok pesantren, safari Ramadhan, serta konsorsium ojek dan becak Tangerang. Ada pula bagian anggaran hibah untuk jajaran birokrat, seperti forum RW, forum camat, forum kepala desa, dan forum silaturahim lurah Kota Serang.

Ratu Atut Chosiyah, Gubernur Banten 2007-2012, tidak membantah besaran dan alokasi dana hibah itu. Kendati senyumnya langsung menghilang, calon petahana Pilkada 2011 itu mengatakan, ia hanya melaksanakan tugas sebagai gubernur sebaik-baiknya dan sesuai aturan yang berlaku.

Ketika ditanya mengenai dana hibah yang jatuh ke lembaga yang dipimpin keluarganya, ke lembaga yang tidak jelas, dan kegiatan tidak sepatutnya, Atut menjawab, ”Itu menurut Anda. Siapa pun masyarakat Banten bisa mendapatkan hibah. Sudah ya.” Dia juga tidak menyatakan tidak keberatan dengan laporan ICW ke KPK.

Menurut peneliti senior ICW, Abdullah Dahlan, masih ada celah untuk membocorkan APBD untuk kepentingan pilkada selain dari anggaran hibah, misalnya melalui anggaran di SKPD.

Masih percaya

Peneliti LIPI asal Banten, Lili Romli, mengatakan, kendati terkesan pragmatisme masyarakat sangat berikatan dengan kecurangan calon kepala daerah, masih ada sebagian masyarakat yang menginginkan pemimpin yang baik dan memercayai pilkada sebagai mekanisme untuk mendapatkan pemimpin yang amanah. Bila tak sesuai hati nurani, masyarakat bisa menyatakan protes dengan tidak memberikan suara. Oleh karena itu, tanpa sosialisasi intensif oleh KPU, kecenderungan golput akan tinggi, bahkan bisa lebih dari 30 persen.

Di sisi lain, pengawasan oleh masyarakat sipil, termasuk perguruan tinggi dan media massa, diperlukan supaya kecurangan-kecurangan diproses secara hukum. Adapun kerja sama Badan Pengawas Pemilu dan Universitas Islam Negeri Jakarta untuk memantau proses pemungutan suara juga akan sangat bermanfaat.

Besok: Belajar Demokrasi dari Masyarakat Baduy

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com