Show me a hero,
and I will write you a tragedy.
- F Scott Fitzgerald (1896-1940)
Pak Sjaf, panggilan akrab Sjafruddin Prawiranegara, adalah sosok kontroversial yang lima dekade lebih dikerdilkan namanya dengan menyematkan kesan pemberontak. Labelisasi yang dilakukan Orde Lama dan Orde Baru itu tersebab dua hal: perannya sebagai Perdana Menteri Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang menantang langsung Soekarno pada 1958-1961 dan sebagai salah satu penanda tangan Petisi 50 yang mengecam Soeharto pada 1980.
Dua peristiwa itu menjadi stigma yang terus dilestarikan. Akibatnya, hampir tak terlacak bahwa Pak Sjaf pernah menempati banyak posisi kunci pemerintahan. Sebutlah Menteri Keuangan, Menteri Kemakmuran, Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), Presiden De Javasche Bank (sebelum dinasionalisasi jadi Bank Indonesia dan Pak Sjaf sebagai gubernur pertama), atau Wakil Perdana Menteri. Lebih tak terlacak lagi, di setiap jabatan itu Pak Sjaf menunjukkan standar etika yang menjadi antitesis sempurna dari adagium pesimistik Lord Acton: kekuasaan cenderung korup!
Ada sedikitnya tiga contoh tindakan Pak Sjaf yang patut diteladani para pejabat negeri ini. Pertama, saat lelaki kelahiran Anyar Kidul, Banten, itu ditunjuk sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Sjahrir ke-3. Ketika itu, dalam usia 35 tahun, ia dianugerahi Tuhan anak ketiga: Chalid Prawiranegara.
Pasti sulit dipahami dari kacamata sekarang jika Menteri Keuangan tak punya uang. Namun, itulah yang terjadi pada keluarga Prawiranegara. Begitu buruknya kondisi finansial Sang Menteri sehingga tak mampu membeli kain gurita bagi bayi Chalid. Untungnya, Lily—nama panggilan Tengku Halimah, istri Pak Sjaf—tak kehilangan akal. Seperti dikutip Ajip Rosidi dalam biografi tentang Pak Sjaf, Lebih Takut kepada Allah SWT (1985), Lily menyobek kain kasur, lalu ia jadikan gurita bayi. Padahal, seberapa mahalkah secarik kain jika seorang Menteri Keuangan ingin menggunakan pengaruhnya? Pak Sjaf tak tergoda menggunakan sepeser pun uang negara.
Peristiwa kedua terjadi ketika Agresi Militer II Belanda, 19 Desember 1948. Pak Sjaf yang saat itu Menteri Kemakmuran sudah sebulan bertugas di Bukittinggi atas perintah Wakil Presiden Mohammad Hatta. Patut diingat, waktu itu yang disebut daerah republik hanya tiga tempat: Yogyakarta, Bukittinggi, dan Kutaraja (kini Banda Aceh). Daerah lain sudah bergabung ke dalam BFO (Bijeenkomst Federaal Overleg/Musyawarah Negara Federal) bentukan Van Mook. Awalnya Hatta menjamin kepada Lily bahwa Pak Sjaf hanya akan bertugas sekitar satu pekan.