Jenazah Alawy dibaringkan di ruang tamu, di atas dipan besi merah. Di sekelilingnya, ibunda Alawy, Endang Puji Astuti, beserta beberapa ibu mendaraskan doa. Sesekali isak tangis terdengar di antara lantunan doa.
Kemarin, keluarga, teman, dan kerabat mengantar Alawy ke peristirahatan terakhir di pemakaman umum Kampung Poncol, Pedurenan, Kecamatan Karang Tengah, Kota Tangerang. Tauri pun kembali tak bisa menahan kepedihannya.
Ia terduduk lemas dan menciumi foto putranya. Tak kuasa menanggung beban berat atas kepergian anaknya, Tauri akhirnya jatuh pingsan. Belum habis tanah menutup liang kubur,
Turut mengantarkan kepergian Alawy, Inspektur Jenderal Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Haryono Umar. Dia mengatakan, kasus kekerasan yang memakan korban seharusnya tidak terjadi lagi. Setiap sekolah, terutama sekolah yang rawan tawuran, harus mengampanyekan antikekerasan di sekolah masing-masing.
Dari pantauan di SMA Negeri 6 dan SMA Negeri 70, kemarin, kedua sekolah tampak sepi karena muridnya diliburkan pascatawuran. Di SMA Negeri 70, sejumlah pegawai tampak tetap bertugas. Tak terlihat penjagaan berlebihan. Gerbang depan terlihat dijaga dua anggota satpam.
Sejumlah orang dengan kaus bertuliskan reuni alumni terlihat di luar sekolah. Warung-warung di sekitar kedua sekolah terlihat tetap buka. Sebagian pedagang menuturkan, mereka tetap berdagang karena tidak tahu bahwa sekolah diliburkan.
Di SMA Negeri 6 terlihat lebih ramai karena ada jumpa pers terkait dengan tawuran yang dihadiri Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, Komite Sekolah, dan kedua kepala sekolah bertetangga itu. Sejumlah alumnus terlihat hadir.
Kepala SMA Negeri 70 Saksono Liliek Susanto mengakui, siswa-siswa yang suka tawuran itu sudah tidak takut lagi kepada polisi. Menurut dia, antisipasi dari kepolisian sudah dilakukan, tetapi terkadang jumlah polisi tidak sebanding dengan siswa yang tawuran. ”Polisi tidak lagi ditakuti. Murid-murid itu tahu polisi tidak akan menembak,
Ia mengatakan, saat tawuran yang menewaskan Alawy, polisi di sekitar kedua sekolah cukup karena ada demonstrasi di sekitar kompleks sekolah.
Sementara sejumlah pedagang warung kaki lima di sekitar kedua sekolah mengatakan, tawuran antarsiswa itu memang kerap terjadi. Warsi, yang ikut suaminya, Ngatiman, jualan di depan SMA Negeri 6 sejak 1977 mengatakan, tawuran dulu juga kerap terjadi, tetapi tidak memakai senjata seperti sekarang. ”Saya tidak tahu senjata mereka disimpan di mana.”