Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Merana di Rusun Marunda

Kompas.com - 21/11/2012, 02:56 WIB

Susana harus tiga kali ganti moda untuk pergi ke pasar terdekat di Jalan Baru Cilincing. Setelah mengojek Rp 5.000 untuk jarak 1,5 kilometer dari Rusun Marunda ke Jalan Akses Marunda, dia harus dua kali ganti angkot lagi. Total ongkos Rp 12.000 sekali jalan. Bukan perkara murah bagi buruh serabutan seperti Susana.

Salah sasaran

Saat berkunjung ke kawasan itu, Kamis (18/10), Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo tampak prihatin. ”Apa sudah dipromosikan agar terisi semua?” tanya Jokowi, panggilan Joko Widodo, kepada sejumlah pejabat di lingkungan Dinas Perumahan DKI Jakarta.

”Sudah Pak,” jawab Kusnindar, Kepala Unit Pengelola Teknis Rumah Susun Wilayah Jakarta Utara. Anggota staf lain menimpali, ”Di web Pak”. Jokowi tersentak. Dia menilai promosi rusun lewat internet kurang tepat.

Jokowi khawatir subsidi yang dikucurkan pemerintah daerah salah sasaran. ”Sebaiknya, buat saja selebaran, sebar di kampung-kampung kumuh biar pada pindah ke sini, biar cepat penuh,” pinta Jokowi.

Tarif sewa Rusun Marunda relatif murah, Rp 128.000- Rp 159.000 per bulan (tergantung lantai) untuk unit subsidi, dan Rp 304.000-Rp 371.000 per bulan untuk unit umum. Bandingkan dengan rumah petak atau kamar indekos ukuran 3 meter x 4 meter di kawasan itu yang disewakan Rp 350.000-Rp 500.000 per bulan.

Akan tetapi, tak sedikit penghuni Rusun Marunda menunggak bayar. Dua jam setelah Jokowi meninggalkan lokasi, pengelola melayangkan surat peringatan kepada para penunggak. Jumlahnya tak sedikit, 410 penghuni dari total 700 penghuni dengan nilai tunggakan Rp 2,3 miliar. Ini akumulasi ketidaktegasan pengelola, sekaligus sikap tak acuh dan ketidakmampuan sebagian penghuninya.

Tak hanya urusan bayar sewa, kekacauan juga terjadi dalam hak hunian. Unit rusun sewa itu seharusnya tak boleh dipindahsewakan, tetapi tak sedikit dioper ke orang lain dengan tarif sewa lebih tinggi. Seorang penghuni baru dari Gresik, Jawa Timur, mengaku menyewa satu unit ke penyewa sebelumnya Rp 750.000 per bulan, sekitar lima kali lipat dari tarif sewa resmi.

Sejumlah penghuni mengkritik prosedur huni yang tak mudah. Mereka juga menceritakan praktik kotor oknum pengelola yang mematok ”tarif” untuk bisa menempati rusun, alih penghuni, atau memperpanjang surat perjanjian sewa (berlaku dua tahun).

”Tak hanya praktik pungutan liar, anggaran perawatan juga perlu diaudit dan diawasi karena warga tak pernah tahu ada perbaikan di sini. Ke mana larinya uang itu? Warga swadaya membangun lapangan olahraga, taman pendidikan, dan sarana lain,” kata Didik Suwandi (33), Wakil Ketua RW 10 Rusun Marunda.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com