Jumlah air tawar semakin terbatas. Sementara itu, pertumbuhan penduduk yang pesat belum diimbangi dengan penyediaan air baku secara serius. Di Jakarta, krisis sudah terjadi 18 tahun lalu, dan sampai sekarang belum terselesaikan,” kata anggota Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta, Firdaus Ali, Minggu (17/3), di Jakarta.
Pulau Jawa yang padat penduduk mengalami krisis air ketika kemarau dan kelebihan air saat hujan. Saat kemarau, kebutuhan air tawar 38,4 miliar meter kubik, sedangkan potensi air hanya 25,29 miliar meter kubik. Adapun saat musim hujan kebutuhan air mencapai 27,43 miliar meter kubik, sedangkan ketersediaan air 101,16 miliar meter kubik.
Menurut Firdaus, perebutan air bersih tak terhindarkan lagi. Pemerintah daerah dan pusat tidak mampu menjamin ketersediaan dan kualitas air. Akibatnya, beban berat mendapatkan air ditanggung warga sebagai konsumen. ”Di Jawa Barat dan DKI Jakarta, warga di dua wilayah ini memperebutkan sumber air yang sama di Waduk Djuanda,” tuturnya.
Sementara itu, pertumbuhan kawasan di sepanjang Purwakarta dan Bekasi begitu pesat. Pengelola air di Jakarta juga terganggu kepentingannya karena suplai berkurang ketika warga Bekasi, Jawa Barat, kebanjiran, seperti yang terjadi pada 18 Januari dan 5 Februari lalu.
Hal ini membuat ratusan ribu sambungan air bersih di Jakarta mengalami gangguan. Berkali-kali peristiwa seperti ini terulang saat banjir atau Kali Bekasi tercemar.
”Untuk menyelesaikan masalah itu perlu pembangunan siphon di Kali Bekasi,” kata Kepala Bidang Pelaksanaan Jaringan dan Pemanfaatan Air Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum, Wijayanto.
Sebaliknya, Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi menuding luapan air terjadi karena pembangunan siphon. Saat itu, petugas diminta segera membuka Bendung Bekasi. Air pun meluncur alias terbuang ke laut. Sementara itu, aliran Kalimalang kurang lancar. Akibatnya, saat banjir, warga Jakarta krisis air.