Jakarta, Kompas
Sejumlah penghuni Klaster A Rusun Marunda, Selasa (9/4), mengaku membayar kepada pemegang surat perjanjian (SP) hingga bulan ini. Tarifnya bervariasi, yakni Rp 350.000-Rp 650.000 per bulan, lebih tinggi daripada tarif sewa resmi, yakni Rp 304.000-Rp 371.000 per bulan. Bahkan, ada di antara mereka yang sudah tinggal 39 bulan.
Suryati (58), penghuni Blok Bandeng Lantai 5, Rusun Marunda, mengaku membayar sewa kepada pemegang SP hingga bulan ini. ”Saat tahu ada rencana pemutihan, kami mendaftar tanpa sepengetahuan pemegang SP. Harapannya, kami bisa menyewa langsung kepada pemerintah, tanpa perantara,” ujarnya.
Penghuni Unit 1.18 Blok Hiu, Sofiah (61), juga menyewa Rp 650.000 per bulan kepada penyewa sebelumnya. Demikian pula Naryadi (40), penghuni Unit 1.13 Blok Bandeng, yang mengaku menyewa Rp 500.000 per bulan.
Pengelola memperkirakan ada sekitar 200 unit dari 500 unit Klaster A Rusun Marunda yang disewakan atau dijual oleh pemegang hak sewa.
Sementara itu, uang sewa yang diterima pemerintah, sejak rusun rampung dibangun 5-7 tahun lalu, sampai sekarang masih menunggak lebih dari Rp 2 miliar.
Kini, difasilitasi pengurus RW 010, Kelurahan Marunda, sedikitnya 57 penghuni Klaster A, yang menyewa dari penyewa sebelumnya, mendaftar ke Dinas Perumahan DKI. Mereka berharap pemutihan dan menjadi penghuni sah dengan menyewa unit langsung kepada pengelola.
Kepala Unit Pengelola Rusun Wilayah I Jakarta Jati Waluyo menegaskan, penyewaan unit rusun kepada orang lain melanggar tata tertib penghuni. Pelaku
Namun, pengelola mengaku kesulitan melacak para pelakunya. ”Data para pemegang SP sewa ada, tetapi kami kesulitan melacak keberadaannya. Mereka tinggal di luar rusun dan memakai jasa orang lain untuk menagih uang sewa atau mengurus keperluan lain. Terkadang pemilik modal dan orang yang terdaftar di sini berbeda orang,” ujarnya.