Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Membangun Tertib Sosial di Muara Angke, Mendongkrak Perekonomian Nelayan

Kompas.com - 08/06/2013, 12:06 WIB
Windoro Adi

Penulis

Setelah berada di lokasi, penjualan senjata api dibatalkan pelaku. Mereka lalu menawarkan sepeda motor. “Kami berpura-pura berminat membeli. Setelah mereka membawa 3 sepeda motor curian, kami meringkus mereka,” ujar Hadi. Sepeda motor curian itu, lanjutnya, ditawarkan seharga Rp 1,5 juta.

Kafidin mengakui, kerjasama pengamanan lingkungan oleh polisi dan warga yang kian membaik, tidak akan mampu melenyapkan premanisme sepanjang kesejahteraan warga belum memadai. “Tapi sekurangnya sekarang, aksi premanisme sudah tidak lagi dilakukan secara terang-terangan,” ujarnya.

KDRT

Kata Kafidin dan Aiptu Gatot, kejahatan yang kini menonjol justru muncul dari dalam rumah warga – KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Tetapi kasus kasus ini tidak sampai ke tangan Polsek Kawasan Sunda Kelapa. “Selesai sampai subsektor saja lewat hubungan kemitraan polisi dengan para pemuka lingkungan. Kasus diselesaikan secara kekeluargaan,” ucap Aiptu Gatot.

Ia berpendapat, kasus-kasus KDRT sering terjadi karena rendahnya tingkat pendidikan, dan tingginya tingkat kemajemukan warga. Beruntung, warga masih enggan berurusan dengan pengadilan. Menurut Gatot, rata-rata sebulan muncul 4-5 kasus KDRT dan pertengkaran antar suku.

Bhabinkamtibmas, kata Gatot, meredam kasus-kasus seperti ini dengan membentuk Kelompok Kesadaran Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Pokdarkamtibmas yang populer disebut Pokdar).

Andi Jefludin (52), warga setempat mengakui, kondisi keamanan dan ketertiban di pemukiman nelayan Muara Angke sekarang, sudah jauh lebih baik. Menurut dia, tahun 1980 sampai tahun 1995, pertikaian antar suku sering meluas dan berakhir dengan tewasnya sejumlah korban.

“Setiap dinihari, ratusan preman sudah berkumpul di pelabuhan, menunggu para nelayan yang melaut, datang menurunkan ikan. Para preman ini minta jatah ikan dari para nelayan. Kalau nggak dikasih, bisa saling bunuh. Ujung-ujungnya bisa perang antar suku,” ungkapnya.

Setelah polisi dan warga membentuk Pokdar, kekacauan di pelabuhan ikan itu secara bertahap mereda. Di Pokdar, seluruh pemuka suku dan figur berpengaruh lainnya, diminta menjadi pengurus. Mereka bertugas mengarahkan para preman dan mencegah mereka berbuat onar. Sebagai ganjarannya, para preman ini diberi pekerjaan seperti mengatur lalulintas dan parkir.

“Setiap bulan kami memberi upah untuk empat orang yang mengatur lalulintas dan parkir, masing-masing Rp 500 ribu,” ucap Ketua Pokdar Muara Angke, Hartono Tasmin.

“Jika terjadi keributan, para pengurus Pokdar menyelesaikannya secara kekeluargaan,” papar Andi yang kini menjadi Sekretaris Pokdar. Kehadiran Pokdar membuat para preman sadar akan pentingnya ketertiban dan keamanan mendukung putaran roda ekonomi di pelabuhan.

“Kalau ada preman baru masuk merusak ketertiban, maka yang menghadapi adalah para preman yang sudah mendapat kesadaran dari Pokdar,” jelas Andi.

Wakil Ketua Pokdar, Anto Asnim menambahkan, Pokdar mulai dibentuk Kapolres Pelabuhan Tanjung Priok tanggal 6 Juli 2010. “Jumlah anggota Pokdar Muara Angke sekarang, 67 orang,” ujarnya. Dari jumlah tersebut, 46 orang di antaranya dibekali handy talkie dan alat komunikasi RIG yang ditempatkan di tiap Posko.

“Jaringan RIG dihubungkan dengan Polres Pelabuhan Tanjung Priok. Jika terjadi peristiwa besar, anggota Polres bisa cepat datang ke lokasi,” ucap Anto.

Aiptu Gatot mengakui, kehadiran Pokdar meringankan tugas polisi. Arus keluar masuk barang di pelabuhan pun menjadi lebih lancar sementara ketertiban di TPI terjaga, meski hiruk pikuk.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com