JAKARTA, KOMPAS.com
- Memiliki puluhan situ dan waduk serta menjadi hilir dari 13 sungai, tetapi Jakarta selama bertahun-tahun justru terbukti tak bisa menampung air hujan dengan semestinya. Sungai ataupun situ dan waduk bernasib serupa di sini, ditimbun dan diokupasi untuk berbagai fungsi.

Akan tetapi, setahun terakhir, kondisi daya tampung yang buruk itu mulai dibenahi. Pengerukan endapan Waduk Pluit, meskipun masih jauh dari target, dinilai telah berdampak positif. Muka air sungai yang mengalir ke Waduk Pluit seluas 80 hektar itu turun, air mengalir lancar, dan sebagian sisi luar waduk telah bersih dari hunian.

Genangan di permukiman dan jalan juga bisa segera surut. Saat air laut pasang ekstrem hingga tanggul terlimpas dan menggenangi 1.200 rumah di Penjaringan, Jakarta Utara, Jumat (18/10), misalnya, genangan surut dalam tempo 4-5 jam. Air dapat mengalir deras ke waduk sebelum kemudian dipompa ke laut.

"Air biasanya tak mengalir dan baru surut 1-2 hari," kata Ja’far (45), warga Penjaringan.

Dampak lain, aliran air di selokan, saluran penghubung, dan saluran utama, seperti Kali Pakin, Kali Opak, dan Kali Jelakeng, yang mengalir ke Waduk Pluit lancar. Permukaan air pun turun 1-3 meter dibandingkan dengan sebelum Januari 2013.

Koordinator Normalisasi Waduk Pluit Heryanto menyebutkan, hingga pertengahan Oktober 2013, pengerukan endapan diperkirakan mencapai 40 persen dari target 4 juta meter kubik. Tahap awal, Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Pekerjaan Umum menargetkan bisa menambah kedalaman 2 meter di area genangan waduk seluas 20 hektar.

"Pengerukan masih jauh dari kebutuhan karena endapan sudah sangat tinggi, hasil akumulasi belasan tahun, tetapi dampak pengerukan sudah bisa dirasakan masyarakat. Fungsi waduk sebagai penampung sekaligus pengendali banjir terasa," kata Heryanto.

Pengerukan diharapkan menambah kedalaman perairan Waduk Pluit menjadi 3-5 meter. Waduk itu didesain dengan kedalaman 7-10 meter. Namun, sedimentasi dan okupansi penghuni liar membuat waduk lekas dangkal. Saat banjir melanda Jakarta pada Januari 2013, kedalaman waduk diperkirakan 1-3 meter.

Ahli lingkungan Universitas Indonesia, Tarsoen Waryono, mengatakan, manfaat kawasan tandon air, yaitu situ/waduk/danau sebagai pengendali banjir, diawali dari sumber tata airnya, baik yang berasal dari aliran permukaan maupun air tanah.

Ditinjau dari morfologi dan hidrologinya, kawasan tandon air merupakan bentang alam yang terdepresi dan terisi air karena memiliki lapisan kedap air dan atau posisi dasar tandon airnya memiliki kedudukan lebih rendah daripada permukaan air tanah. Dengan fungsinya itu, kawasan tandon air sama sekali tidak boleh dipergunakan untuk keperluan lain, apalagi ditimbun untuk permukiman.

Namun, semangat merevitalisasi tandon air di Jakarta belum menular ke kawasan sekitarnya. Pengambilan dan pemanfaatan lahan situ atau danau menjadi kawasan perumahan secara terang-terangan dilakukan perorangan, perusahaan, atau kelompok terus terjadi di Kota Tangerang.

Sebanyak enam dari sembilan situ yang ada di wilayah itu telah menyusut dan tiga situ lainnya hilang tertutup tanah. Salah satu yang sedang diuruk adalah Situ Bulakan di Kelurahan Gembor, Kecamatan Priuk.

"Pengerukan itu (Situ Bulakan) sudah terjadi sejak enam bulan lalu," kata Tia (40), pemilik warung di area Situ Bulakan. Sejak diuruk pada Januari 2013, kata Tia, air situ meluap hingga masuk ke jalan raya. Ketinggian air di jalan raya mencapai 30-40 sentimeter. Sebelumnya, keadaan seperti itu tidak pernah terjadi. (NEL/PIN/MKN)