”Sebelum bekerja, ada doa yang selalu saya minta. Mungkin sama dengan penjaga lainnya. Semoga tidak ada orang nekat meninggal dunia hari ini,” ujar Afrizal menenangkan hatinya sendiri.
Meninggal dalam tugas
Deru laju kereta malam yang berdatangan melepas kepergian tiga jenazah awak Kereta Rel Listrik 1131 di Lobi Utama Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (10/12/2013), sekitar pukul 19.30. Kontras dengan riuh rendah calon penumpang, tiga jenazah tertidur berselimut bendera Merah Putih diiringi doa dan salam hormat koleganya.
Dengan setiap peti diangkat oleh enam polisi khusus kereta api, ketiganya bersiap melanjutkan perjalanan terakhir.
Masinis Darman Prasetyo (26) mengakhiri rute terakhir ke Purworejo (Jawa Tengah) menggunakan KA Argolawu. Agus Suroto (20), asisten masinis, pergi ke Blora dengan KA Sembrani. Adapun Sopyan Hadi (23) meninggalkan stasiun menggunakan mobil ambulans menuju rumah duka di Bekasi Timur.
Ingin melepas rekan mereka dengan bangga, PT KAI memberikan kenangan terakhir. Semuanya diberikan gelar anumerta atau meninggal dalam tugas. Khusus Sopyan Hadi, ia diberikan pengangkatan penuh sebagai karyawan tetap PT KAI.
Ada isak tangis dan haru saat jenazah diantar. Namun, dalam hening, ketiganya meninggalkan jejak indah. ”Mereka adalah teman dan karyawan terbaik PT KAI. Kerja keras dan semangat mereka menginspirasi kami semua,” ujar Direktur Utama PT KAI Ignasius Jonan.
Ade Rukim, ayah Sopyan, mencoba lapang dada. Ia yakin anaknya tidak meninggal sia-sia. Dari cerita salah seorang teman Sopyan yang selamat, anaknya berulang kali menekan tombol pintu keluar KRL sesaat setelah tabrakan terjadi. Namun, sayang api lebih cepat menjilatinya.
”Saya bangga dengan Sopyan. Dia meninggal dalam tugas,” ujarnya.
Jadi semangat
Harapan Ade tak sia-sia. Meski tak saling mengenal, Warto terang-terangan terinspirasi dengan kisah heroik ketiga awak KRL 1131 Tanah Abang-Serpong. Ia ingin suatu hari dedikasinya besar dan dikenang banyak orang.
”Mereka pergi dalam tugas. Hal itu memberikan semangat bagi saya agar terus bekerja lebih baik meski caci maki banyak saya terima setiap hari,” kata Warto.
Peristiwa pertengahan November 2013 belum ia lupakan. Sekitar 20 orang memenuhi Pos Pelintasan Kereta Api 30 Senen berukuran 7 meter x 5 meter. Mereka memaksa Warto membuka palang pintu dan menghentikan laju kereta api.
”Warga panik karena ada kebakaran dekat rel. Mereka meminta palang dibuka agar pemadam kebakaran bisa masuk. Meski takut, tetap saya tolak. Permintaan itu sama saja menggantung mati saya,” katanya sembari memegang lehernya erat-erat.
Sumpah serapah dan ludahan pengguna jalan yang tak sabar juga bukan hal baru yang ia rasakan. Penutupan jalan dianggap merepotkan dan menghabiskan waktu.
Warto mengaku geram. Namun, ia merasakan hal yang sama setiap hari dalam dua tahun terakhir. Warto anggap kesabaran adalah bagian pengabdian. Ketimbang merenungi risiko pekerjaan, ia memilih setia terhadap pilihannya melayani manusia lewat kereta api.
”Bagi beberapa orang, pekerjaan saya mungkin sepele. Ada napas dan tawa riang ribuan orang yang bergantung pada tangan ini,” katanya.