JAKARTA, KOMPAS.com - Kehidupan keras di Jakarta membuat orang harus memutar akal untuk bertahan. Bagi M Syarifudin (27) yang tidak punya pekerjaan tetap, memulung barang bekas jadi pilihan hidupnya.
Sayangnya, kecepatannya dalam memulung botol bekas membuat Gondrong, rekan sesama pemulung, iri. Sehari, Arif, panggilan Syarifudin, bisa mengumpulkan botol plastik bekas hingga tiga karung besar. Setiap kilogram botol plastik bekas itu dijual Rp 5.000. Sementara Gondrong hanya bisa mengumpulkan setengah karung.
Kalau sekadar iri, tidak akan menimbulkan masalah hukum. Namun, Gondrong yang merasa tidak mampu bersaing dengan kecepatan Arif dalam memulung botol bekas malah nekat.
Sabtu (19/7) sekitar pukul 18.30, Gondrong yang sebelumnya beradu mulut dengan Arif tidak bisa mengendalikan amarahnya.
”Ia (Gondrong) nyuruh saya supaya enggak mulung di Manggarai karena daerah ini wilayahnya,” kata Arif saat ditemui di Jakarta, Minggu (20/7).
Menanggapi ini, Arif memilih tersenyum saja. Ia tidak membalas perkataan Gondrong.
Arif memang baru sepekan memulung di daerah Manggarai, Jakarta Selatan. Warga Jagakarsa, Jakarta Selatan, ini mengaku memulung untuk membiayai adiknya yang masih sekolah di sebuah SMU di Jakarta Selatan.
Sebetulnya, setelah cekcok mulut, Gondong meninggalkan halte.
”Saya pikir, dia sudah pulang. Tahu-tahunya, sepuluh menit kemudian, ada teman sesama pemulung yang bilang, Gondrong mau ketemu saya di halte,” ujar Arif.
Tiba-tiba, ketika bertemu di Halte Karya Guna, sekitar 50 meter dari pintu keluar Stasiun Manggarai, Gondrong langsung memukul muka Arif. Setelah itu, ia mengeluarkan pisau lipat dan menusuk Arif di bawah rusuk sebelah kiri.
”Pikiran saya masih gelap waktu habis ditonjok. Tiba-tiba, perut saya terasa panas,” kata Arif.
Gondrong segera kabur setelah melakukan aksinya. Arif, yang terluka, segera berlari ke arah Stasiun Manggarai untuk meminta pertolongan warga.
Ketika melewati pos polisi Subsektor Manggarai di seberang Stasiun Manggarai, Arif berpapasan dengan Arry (48), tukang ojek yang juga temannya dan biasa mangkal di depan Stasiun Manggarai.
”Saya kaget melihat Arif berlumuran darah. Bajunya diikat di perut untuk menahan luka,” tutur Arry.
Surat pengantar