Tunggal mengatakan, saat itu buaya masih kecil. Ia lantas menyerahkannya kepada Mak Yati, pemulung yang terkenal namanya karena mau menyerahkan kurban seekor kambing. Mak Yati atau yang akrab disapa Mak Lampir di daerah itu, kata Tunggal, memelihara buaya yang diberinya.
"Buaya itu yang kasih makan namanya Kiki, orangnya sekarang di Pancoran," ujar Tunggal. Tunggal menunjukkan tumpukan bangunan gubuk yang dirobohkan.
Menurut dia, Mak Yati tinggal di sana, sebelum pindah ke Surabaya dan mendapatkan rumah. Ia menyebutkan, setelah Mak Yati pindah, kemungkinan buaya itu hidup sendiri.
Penghuni yang menempati setelah Mak Yati, kata dia, tidak tahu-menahu. "Soalnya lubangnya ada di bagian bawah, di dalam kamar. Nah, kamar itu tertutup, enggak pernah ada yang tahu ada buaya di sini," ujar Tunggal.
Namun, lubang di bawah kamar yang dimaksud Tunggal tertutup puing. "Besok ke sini lagi saja deh, nanti kalau sudah diangkut bisa lihat," ujarnya.
Tunggal menilai Mak Yati sebagai orang yang tertutup. Tidak ada yang tahu aktivitas perempuan paruh baya yang disebut telah diceraikan suaminya, Suradi. "Hanya sesekali keluar saja beli makan," ujar dia.
Sementara itu, Kasno (46), warga di asrama panti sosial belakang Kampung Pemulung, tak jauh dari tumpukan puing yang ditunjukkan Tunggal, mengaku tidak pernah melihat buaya.
"Adanya ular sanca, gede sebetis. Warna kuning. Ada juga kera sama kucing. Tetapi saya enggak pernah lihat buaya. Soalnya di sini itu sebelum dibongkar lingkungannya tertutup," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.