Menurut Irma, pelaku kejahatan seksual biasanya orang-orang yang pernah mengalami kejahatan seksual di masa kecil. Korban berpotensi menjadi pelaku kejahatan saat mereka mengalami trauma berkepanjangan dan tak ditangani psikolog.
Selain itu, minimnya pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas serta kurangnya pemahaman religiusitas mendorong banyaknya kejahatan seksual di Indonesia. Kejahatan
ini juga didukung penyalahgunaan teknologi informasi, seperti maraknya pornografi di internet.
Irma menjelaskan, orangtua berperan penting menghentikan kejahatan seksual. Sebaiknya, orangtua memberikan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas sedini mungkin. Pendidikan seksualitas perlu diberikan secara bertahap hingga anak menginjak usia remaja.
Irma juga mendesak penegak hukum memberikan vonis berat kepada para pelaku agar memberi efek jera. ”Hukuman harus ditambah. Selama ini, hukuman belum memberi efek jera kepada para pelaku,” kata Irma.
Data Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menunjukkan, pada tahun ini di Jakarta saja, lebih dari setengah kasus kekerasan pada anak atau 52,7 persen (332 kasus) merupakan kejahatan seksual. Dari jumlah itu, 22 persen kasus tidak sampai ke pengadilan karena dianggap kurang bukti. Di pengadilan, para terdakwa umumnya divonis 3-9 tahun penjara. Sebagian lain dihukum kurang dari 3 tahun penjara atau malah divonis bebas.
Rikwanto menambahkan, kasus yang terungkap atau yang ditangani polisi, seperti kasus JIS, hanyalah puncak gunung es kejahatan seksual terhadap anak. Menurut dia, banyak kasus yang tak terungkap karena keluarga korban tak mau terbuka. Mereka masih menganggap hal itu sebagai aib.
Komnas PA mencatat, dalam dua tahun terakhir tak ada perubahan berarti dalam pengendalian kejahatan seksual pada anak. Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait memperkirakan, anak-anak yang menjadi korban kejahatan seksual akan terus bertambah pada 2015. Pasalnya, pemerintah dan kepolisian belum punya langkah konkret untuk menjamin keamanan anak.
Arist menambahkan, apa pun alasannya, seharusnya tak ada toleransi terhadap tindak kekerasan pada anak di sekolah. Dari segi informasi, anak-anak harus benar-benar dilindungi dari informasi dan tontonan terkait pornografi dan kekerasan.
Ia menegaskan, sudah saatnya pemerintah membangun peran serta masyarakat dengan cara membentuk tim reaksi cepat perlindungan anak hingga ke tingkat RT dan RW. Masyarakat juga harus berperan aktif melindungi setiap anak dari segala bentuk kejahatan.
Bukannya mau menakut-nakuti, tetapi fakta selama ini menunjukkan, tidak ada tempat yang benar-benar aman buat anak-anak! (DNA/MDN/ART/PIN/RTS/RAY)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.