Akhirnya, waktu tunggu bus molor dari jadwal. Selain itu, terjadi penumpukan penumpang di hampir semua halte transjakarta.
Cyntia Ayu (23), mekanik di perusahaan swasta, dengan wajah pucat berdiri di dalam bus transjakarta. Butiran keringat dingin membasahi kening dan lehernya. Perempuan yang indekos di Jalan Pasar Genjing, Jakarta Timur, itu menunggu bus lebih dari 30 menit pada Senin (9/3) pagi.
Dia naik bus dari Halte Pramuka. Kondisi halte yang kecil dan disesaki ratusan penumpang membuat tubuhnya makin lemas. Begitu masuk ke dalam bus, dia masih harus berdesak-desakan dengan puluhan penumpang lain.
”Kepala saya pening. Karena buru-buru, tadi tidak sempat sarapan,” katanya.
Setiap hari Ayu harus berangkat dari Jalan Pasar Genjing pukul 06.30 menuju kantornya di daerah Sudirman, Jakarta Pusat. Perempuan itu sebenarnya ingin mencoba angkutan umum lain yang bisa menjanjikan kenyamanan. Namun, kondisi jalanan di Ibu Kota yang selalu padat memaksanya menggunakan bus transjakarta. ”Naik angkutan umum lain pasti lebih lama sampai,” katanya.
Di Halte Pulo Gadung, Jakarta Timur, bus transjakarta jurusan Pulo Gadung-Dukuh Atas berangkat setiap sepuluh menit sekali.
Berkecepatan 40-60 kilometer per jam, bus bergerak melintasi jalur khusus bus transjakarta di Jalan Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur. Mendekati persimpangan Jalan Pramuka, kepadatan lalu lintas mulai terasa.
Puluhan pengendara sepeda motor dan mobil masuk ke dalam jalur khusus bus transjakarta. Kondisi itu menyebabkan bus harus melaju dengan kecepatan 10 kilometer per jam.
Kereta
Kereta api yang disebut-sebut sebagai moda tranportasi ”terjadwal” juga tak selamanya menolong kaum pekerja. Kisah kereta telat selalu saja menjadi menu sehari-hari. ”Kalau sudah berangkat pagi, tetapi kereta datang telat, tetap saja saya telat sampai di kantor,” kata Sari (35), karyawati di kawasan Sudirman.
Senin pagi itu, Sari yang tinggal di Depok, Jawa Barat, kembali harus mengalami keterlambatan kereta. Mestinya, kereta tujuan Stasiun Sudirman berangkat dari Stasiun Manggarai pukul 08.45, tetapi kereta itu baru tiba pukul 08.50 dan berangkat pukul 08.52.
”Saya masuk pukul 09.00, dan pastinya saya telat. Apalagi kereta sudah sesak sekali. Mendingan nunggu kereta selanjutnya,” kata Sari.
Kepadatan penumpang kereta di pagi hari memang bukan main. Apalagi jika kereta terlambat tiba, akibatnya penumpang pun menumpuk.
Para penumpang tak lagi hanya berdesakan masuk gerbong. Namun, mereka juga memaksakan diri dengan mendorong-dorong penumpang yang sudah di dalam gerbong agar tubuh mereka dapat menyelip masuk di antara penumpang yang berdiri berimpitan.
”Dorong saya, dorong saya. Dorong terus,” kata seorang penumpang dengan napas terengah-engah.
Ia berupaya menggapai pintu masuk gerbong dengan meminta pertolongan kepada penumpang yang masih berdesakan di peron. Ia ingin tubuhnya segera bisa masuk ke dalam gerbong. Umumnya penumpang sudah saling mengerti bahwa agar dapat masuk gerbong yang sudah padat penumpang, butuh bantuan dorongan oleh penumpang lain yang masih berdiri di peron.
Saking padatnya penumpang, ketika kereta berangkat pun para penumpang yang ada di gerbong sampai tak bergerak karena nyaris tak ada celah tersisa. Pemandangan ini sudah menjadi pemandangan umum pagi hari di stasiun transit seperti Stasiun Manggarai yang menjadi stasiun transit penumpang dari Bogor, Depok, Bekasi, ke tengah kota Jakarta.
Sebaliknya, Stasiun Tanah Abang dan Stasiun Sudirman yang menjadi stasiun tujuan di pagi hari akan berubah menjadi lautan manusia pada sore hari. Di peron 6 Stasiun Tanah Abang tempat keberangkatan kereta tujuan Serpong dan beberapa stasiun di Tangerang, contohnya, penumpang harus antre di lantai 2 untuk masuk ke peron.
Sementara lebar peron 6 Stasiun Tanah Abang itu terbilang sempit, hanya 4 meter. Ketika sedang padat penumpang, setiap penumpang harus memasang kaki yang kuat agar tak terdorong oleh penumpang lain dan terjatuh ke rel.
Bukan pilihan tepat
Menggunakan sepeda motor juga bukan pilihan yang tepat. Mulai dari Bekasi sampai di perbatasan dengan Duren Sawit, Jakarta Timur, misalnya, kemacetan tak terhindarkan. Senin pagi, kendaraan bertumpuk di Jalan KH Noer Ali, Bekasi. Sepeda motor hanya mampu melaju dengan maksimal 10 kilometer per jam.
Berlangsungnya aktivitas proyek infrastruktur di sejumlah wilayah Jakarta kian menambah penderitaan itu. Proyek tersebut antara lain MRT, jalan layang, dan rel dwiganda.
Warga berharap proyek tersebut dapat selesai tepat waktu sehingga tercipta kondisi transportasi yang lebih baik. (MDN/DNA/B09/B10)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.