Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Di Jakarta, Ternyata Orang Mau Mati Saja Susahnya Minta Ampun..."

Kompas.com - 30/03/2015, 09:33 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Siang itu, langit cerah dan angin bertiup sepoi-sepoi. Satu petak lahan pemakaman berukuran 2 x1 meter persegi selesai digali di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Cijantung, Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur, Jumat (27/3/2015) pekan lalu. Lokasi tanah galian itu berada di barisan terdepan alias pinggir jalan di area pemakaman. Rencananya, akan ada pemakaman seusai waktu shalat Jumat.

Dua laki-laki penggali makam sudah menunggu datangnya jenazah. Sambil menanti, mereka duduk santai seraya menghisap rokok. Tak jauh dari mereka, belasan anak laki-laki usia 7-10 tahun asyik bermain layangan di lahan seluas 1,7 hektar itu. Wajah-wajah cilik itu tak kelihatan takut, meski di bawah mereka adalah makam.

Tak sampai setengah jam, iring-iringan pengantar jenazah pun tiba. Mobil Jeep Rubicon warna hitam berada paling depan. Kendaraan mewah itu diparkir agak maju sehingga mobil ambulans warna putih pembawa jenazah yang berada di belakang Jeep bisa diparkir tepat di depan bakal makam.

Di belakang ambulans, lima mobil lain berderet, berisi sanak saudara dari orang yang akan dimakamkan. Jenazah yang akan dimakamkan adalah seorang perempuan, yang meninggal dalam usia 82 tahun. Seorang kakek, yang merupakan suami almarhumah, tampak hadir di sana.

"Di Jakarta, ternyata orang mau mati saja susahnya minta ampun. Sebaiknya, kalau bisa, jangan mati di Jakarta," ucap Bowo (42), salah satu kerabat almarhum, kepada Warta Kota, seusai prosesi pemakaman.

Bowo mengaku bahwa pihaknya harus membayar hingga Rp 2,5 juta untuk mendapatkan lahan makam itu, lebih mahal dibandingkan lahan yang terletak di bagian tengah atau belakang yang ditawarkan seharga Rp 2 juta. Ahli waris memutuskan memilih lahan terdepan agar mudah diurus.

Menurut petugas TPU, kata Bowo, biaya itu sudah termasuk sewa lahan dan uang jasa bagi penggali makam. Nyatanya, seusai pemakaman, penggali kubur masih menghampiri keluarga dan meminta uang lelah.

Bowo pun kesal. "Orang itu punya hati, enggak, sih? Masa kami lagi berduka begini diminta-mintain uang seperti itu," ujar Bowo.

Bowo makin kesal begitu tahu bahwa biaya sewa lahan makam termahal sesuai ketentuan Pemprov DKI Jakarta sebenarnya Rp 100.000. Apa daya, uang Rp 2,5 juta telah dibayarkan. Ia dan kerabat tak berpikir panjang karena yang diharapkan adalah segera mendapat lahan makam supaya pemakaman bisa cepat dilakukan.

Sebelumnya, beberapa TPU di Jakarta Timur telah disambangi, tetapi kebanyakan telah penuh. "Di TPU Pondok Ranggon sebenarnya masih banyak lahan kosong, tetapi kejauhan buat kami," ujarnya kepada Warta Kota.

Lebih mahal

Makam perempuan tua tadi berada di lokasi "strategis", persis di pinggir jalan yang bisa dilalui satu mobil. Tak berbeda dengan pilihan manusia memilih tempat tinggal, posisi makam di pinggir jalan ternyata juga jadi rebutan. Mudah diakses tanpa perlu menginjak atau melewati kuburan orang lain menjadi alasan memilih lokasi tersebut. Soal harga, tentu itu lebih mahal dibanding yang posisinya di dalam.

Hal tersebut disampaikan Bambang, bukan nama sebenarnya, petugas TPU Cijantung, kepada Warta Kota. Ia mengakui, berdasarkan peraturan Pemprov DKI, biaya lahan makam tidaklah mahal. Yang mahal itu adalah jasa menggalinya. Para penggali terpaksa berharap pada kebaikan ahli waris.

Sebab, uang penggalian yang didapat dari Dinas Pemakaman DKI tak seberapa. "Penggali makam paling digaji Rp 200.000 sebulan. Itu cuma cukup buat beli rokok doang. Kalau buat kebutuhan sehari-hari, mana cukup," katanya.

Karena itu, kata Bambang, telah menjadi semacam kesepakatan tak tertulis menetapkan biaya pemakaman di luar ketentuan Pemperov DKI. Uang Rp 2,5 juta hasil pemakaman tadi, misalnya, dibagi rata antara pegawai TPU dan penggali kuburan.

"Makanya, kalau pemakaman lagi sepi, tukang gali kubur pada memble alias lemes," katanya seraya menambahkan terdapat enam pria penggali kubur yang bertugas di TPU tersebut.

Menurut Bambang, biaya sebesar itu masih terbilang wajar. Terlebih lagi, katanya, proses menggali tanah untuk kuburan bukan hal mudah. Diperlukan beberapa pria dengan fisik yang kuat agar satu petak kuburan bisa disiapkan untuk pemakaman.

Selain itu, tambahnya, hampir semua TPU di Jakarta mengenakan harga yang sama. Dia dan teman-temannya mengaku hanya mengikuti "mekanisme pasar". "Malahan di TPU lain ada yang tarifnya sampai Rp 5 juta," ucapnya tanpa menyebut TPU yang dimaksud.

Terkait perbedaan harga antara lahan makam yang "di depan" dan yang "di belakang", menurut Bambang, hal itu terjadi karena selama ini ahli waris kerap memesan kuburan di bagian depan atau pinggir jalan. Karena itu, mereka menetapkan tarif di luar biaya normal.

"Kuburan di bagian belakang harganya sekitar Rp 1,5 juta, lebih murah karena dia agak terpencil. Kalau yang di depan kan gampang diurusin. Sama saja kayak rumah orang hidup, kalau posisi rumah di pinggir jalan kan lebih mahal harganya dibandingkan yang letaknya di pojok," ujarnya.

Lelaki berjenggot itu menuturkan, biaya pesan lahan makam selalu naik tiap tahunnya, tak ubahnya harga tanah untuk permukiman. Tahun 2010 lalu, katanya, tarif sewa lahan makam masih Rp 700.000 per makam. "Sekarang enggak terasa sudah naik jadi Rp 2 jutaan," katanya. (gps)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Taruna STIP Tewas Dianiaya, Polisi Ungkap Pemukulan Senior ke Junior Jadi Tradisi 'Penindakan'

Taruna STIP Tewas Dianiaya, Polisi Ungkap Pemukulan Senior ke Junior Jadi Tradisi "Penindakan"

Megapolitan
Empat Taruna STIP yang Diduga Saksikan Pelaku Aniaya Junior Tak Ikut Ditetapkan Tersangka

Empat Taruna STIP yang Diduga Saksikan Pelaku Aniaya Junior Tak Ikut Ditetapkan Tersangka

Megapolitan
Motif Pelaku Aniaya Taruna STIP hingga Tewas: Senioritas dan Arogansi

Motif Pelaku Aniaya Taruna STIP hingga Tewas: Senioritas dan Arogansi

Megapolitan
Penyebab Utama Tewasnya Taruna STIP Bukan Pemukulan, tapi Ditutup Jalur Pernapasannya oleh Pelaku

Penyebab Utama Tewasnya Taruna STIP Bukan Pemukulan, tapi Ditutup Jalur Pernapasannya oleh Pelaku

Megapolitan
Polisi Tetapkan Tersangka Tunggal dalam Kasus Tewasnya Taruna STIP Jakarta

Polisi Tetapkan Tersangka Tunggal dalam Kasus Tewasnya Taruna STIP Jakarta

Megapolitan
Hasil Otopsi Taruna STIP yang Tewas Dianiaya Senior: Memar di Mulut, Dada, hingga Paru

Hasil Otopsi Taruna STIP yang Tewas Dianiaya Senior: Memar di Mulut, Dada, hingga Paru

Megapolitan
Akhir Penantian Ibu Pengemis yang Paksa Orang Sedekah, Dua Adiknya Datang Menjenguk ke RSJ

Akhir Penantian Ibu Pengemis yang Paksa Orang Sedekah, Dua Adiknya Datang Menjenguk ke RSJ

Megapolitan
Polisi Sebut Ahmad dan RM Semula Rekan Kerja, Jalin Hubungan Asmara sejak Akhir 2023

Polisi Sebut Ahmad dan RM Semula Rekan Kerja, Jalin Hubungan Asmara sejak Akhir 2023

Megapolitan
Praktik Prostitusi di RTH Tubagus Angke Dinilai Bukan PR Pemprov DKI Saja, tapi Juga Warga

Praktik Prostitusi di RTH Tubagus Angke Dinilai Bukan PR Pemprov DKI Saja, tapi Juga Warga

Megapolitan
Keluarga Harap Tak Ada Intervensi dalam Pengusutan Kasus Mahasiswa STIP yang Tewas Dianiaya Senior

Keluarga Harap Tak Ada Intervensi dalam Pengusutan Kasus Mahasiswa STIP yang Tewas Dianiaya Senior

Megapolitan
Pro-Kontra Warga soal Janji Dishub DKI Tertibkan Juru Parkir, Tak Keberatan jika Jukir Resmi

Pro-Kontra Warga soal Janji Dishub DKI Tertibkan Juru Parkir, Tak Keberatan jika Jukir Resmi

Megapolitan
Mahasiswa STIP Tewas Dianiaya Senior, Pengawasan dan Tata Tertib Kampus Jadi Sorotan

Mahasiswa STIP Tewas Dianiaya Senior, Pengawasan dan Tata Tertib Kampus Jadi Sorotan

Megapolitan
Hari Ini, Polisi Lakukan Gelar Perkara Kasus Mahasiswa STIP Tewas Diduga Dianiaya Senior

Hari Ini, Polisi Lakukan Gelar Perkara Kasus Mahasiswa STIP Tewas Diduga Dianiaya Senior

Megapolitan
Usul Heru Budi Bangun “Jogging Track” di RTH Tubagus Angke Dinilai Tak Tepat dan Buang Anggaran

Usul Heru Budi Bangun “Jogging Track” di RTH Tubagus Angke Dinilai Tak Tepat dan Buang Anggaran

Megapolitan
Polisi Sebut Pembunuh Wanita Dalam Koper Tak Berniat Ambil Uang Kantor yang Dibawa Korban

Polisi Sebut Pembunuh Wanita Dalam Koper Tak Berniat Ambil Uang Kantor yang Dibawa Korban

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com