Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kesulitan Siswa Berkebutuhan Khusus Menghadapi Ujian Nasional "Online"

Kompas.com - 01/04/2015, 21:08 WIB
Tara Marchelin Tamaela

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Salah satu siswa di SMK Negeri 6 Jakarta Selatan, merasa kesulitan menghadapi ujian nasional (UN) Bahasa Inggris dengan sistem computer based test (CBT). Sebab, siswa tersebut harus mengerjakan ujian mendengarkan atau listening pada mata pelajaran Bahasa Inggris meskipun memiliki keterbatasan pendengaran.

"Kalau baca tulis saya bisa, kesulitannya di listening Bahasa Inggris. Kondisi saya begini, kenapa harus ikut listening," ujar Priyanka Irfan, siswa berkebutuhan khusus atau inklusi SMK Negeri 6, Rabu, (1/4/2015).

Bila harus mengerjakan soal listening dalam try out dan ulangan harian, Priyanka biasanya menerka-nerka jawaban dari gambar yang terdapat dalam soal. Sebagai pengganti, Priyanka harus mengerjakan soal tambahan agar dapat memperoleh nilai. 

"Biasanya guru Bahasa Inggris itu memberikan tambahan dalam bentuk lain. Mungkin anak-anak lain listening, Priyanka dikasihnya interview," kata Tuti Rohanna, Wakil Kepala Sekolah SMK Negeri 6.

Kendati demikian, Tuti menilai Priyanka juga kesulitan dalam mengerjakan soal tambahan tersebut. Meskipun tak dapat mendengar, Priyanka dapat berbicara. Namun, Priyanka kurang jelas dalam melafalkan kata-kata.

"Kalau soal interview ya gimana ya. Dia sudah berusaha maksimal untuk mengucapkan kata-kata itu tetap sulit," kata Tuti saat ditemui di SMK Negeri 6.

Tidak istimewa

Meskipun memiliki keterbatasan, pihak sekolah tidak memperlakukan siswa berkebutuhan khusus secara istimewa. SMK Negeri 6 juga tidak memiliki tenaga khusus untuk menangani mereka.

"Di sini kan memang enggak mempunyai orang khusus untuk menangani inklusi. Jadi, hanya mengandalkan guru-guru saja," kata Tuti.

Hal ini dikarenakan jumlah siswa inklusi di SMK Negeri 6 tergolong sedikit. Hanya ada dua orang siswa inklusi yang butuh perhatian khusus.

Selain itu, kata dia, SMK Negeri 6 memang tidak dipersiapkan untuk menerima siswa berkebutuhan khusus. "Kalau dulu kan enggak ada aturan harus terima siswa inklusi, sekarang kita diwajibkan terima," kata Tuti.

Terkait hal ini, Tuti berharap agar anak-anak berkebutuhan khusus sebaiknya ditempatkan di sekolah luar biasa sehingga dapat ditangani dengan baik. "Sebenarnya kasihan ya karena dia sepertinya jadi tidak maksimal," ucap Tuti.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

2 Pria Rampok Taksi 'Online' di Kembangan untuk Bayar Pinjol

2 Pria Rampok Taksi "Online" di Kembangan untuk Bayar Pinjol

Megapolitan
Heru Budi: Jakarta Bisa Benahi Tata Kota jika Pemerintahan Pindah ke IKN

Heru Budi: Jakarta Bisa Benahi Tata Kota jika Pemerintahan Pindah ke IKN

Megapolitan
Polda Metro Jadwalkan Pemeriksaan Pendeta Gilbert Lumoindong Terkait Dugaan Penistaan Agama

Polda Metro Jadwalkan Pemeriksaan Pendeta Gilbert Lumoindong Terkait Dugaan Penistaan Agama

Megapolitan
Prabowo-Gibran Belum Dilantik, Pedagang Pigura: Belum Berani Jual, Presidennya Masih Jokowi

Prabowo-Gibran Belum Dilantik, Pedagang Pigura: Belum Berani Jual, Presidennya Masih Jokowi

Megapolitan
Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Sendiri Pakai Senpi

Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Sendiri Pakai Senpi

Megapolitan
2 Pria Rampok Taksi Online di Jakbar, Leher Sopir Dijerat dan Ditusuk

2 Pria Rampok Taksi Online di Jakbar, Leher Sopir Dijerat dan Ditusuk

Megapolitan
Polisi Periksa Kejiwaan Orangtua yang Buang Bayi ke KBB Tanah Abang

Polisi Periksa Kejiwaan Orangtua yang Buang Bayi ke KBB Tanah Abang

Megapolitan
Golkar Buka Peluang Lanjutkan Koalisi Indonesia Maju pada Pilkada DKI 2024

Golkar Buka Peluang Lanjutkan Koalisi Indonesia Maju pada Pilkada DKI 2024

Megapolitan
Di Tanah Tinggi Hampir Mustahil Menyuruh Anak Tidur Pukul 10 Malam untuk Cegah Tawuran

Di Tanah Tinggi Hampir Mustahil Menyuruh Anak Tidur Pukul 10 Malam untuk Cegah Tawuran

Megapolitan
Cekoki Remaja dengan Narkoba hingga Tewas, Pelaku: Saya Tidak Tahu Korban Masih Dibawah Umur

Cekoki Remaja dengan Narkoba hingga Tewas, Pelaku: Saya Tidak Tahu Korban Masih Dibawah Umur

Megapolitan
Polisi Periksa 5 Saksi Terkait Kasus Begal Mobil di Tajur Bogor

Polisi Periksa 5 Saksi Terkait Kasus Begal Mobil di Tajur Bogor

Megapolitan
Banyak Warga Protes NIK-nya Dinonaktifkan, Petugas: Mereka Keukeuh Ingin Gunakan Alamat Tak Sesuai Domisili

Banyak Warga Protes NIK-nya Dinonaktifkan, Petugas: Mereka Keukeuh Ingin Gunakan Alamat Tak Sesuai Domisili

Megapolitan
Keluarga Tolak Otopsi, Korban Tewas Kebakaran Cinere Depok Langsung Dimakamkan

Keluarga Tolak Otopsi, Korban Tewas Kebakaran Cinere Depok Langsung Dimakamkan

Megapolitan
Beberapa Warga Tanah Tinggi Terpaksa Jual Rumah karena Kebutuhan Ekonomi, Kini Tinggal di Pinggir Jalan

Beberapa Warga Tanah Tinggi Terpaksa Jual Rumah karena Kebutuhan Ekonomi, Kini Tinggal di Pinggir Jalan

Megapolitan
Polisi Tewas dengan Luka Tembak di Kepala, Kapolres Jaksel Sebut karena Bunuh Diri

Polisi Tewas dengan Luka Tembak di Kepala, Kapolres Jaksel Sebut karena Bunuh Diri

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com