Tahun 1990 meletus Perang Teluk. Timur Tengah yang mayoritas berupa gurun dan tandus, tetapi berlimpah minyak bumi, turut bergolak.
Sebagian di antara mereka menyingkir sementara dengan berwisata ke Nusantara, terutama ke Puncak di Bogor dan Cianjur.
Pelancong asal Timur Tengah mengenal Puncak diyakini dari sesama turis yang lebih dahulu datang.
Ada kemungkinan peran "mak comblang", yakni biro wisata, restoran timur tengah, atau kampung Arab yang sudah lebih dulu ada di Jabodetabek.
Warung Kaleng atau Cisarua menjadi istimewa bagi para pendatang dari Timur Tengah karena tekanan sosial yang longgar terhadap mereka.
Khalid (28), turis asal Arab Saudi, mengatakan, enam tahun lalu ia pertama kali datang ke Puncak. Ia jatuh cinta dengan keindahan alam, keramahan penduduk, harga barang dan jasa yang terjangkau, dan banyaknya bangunan usaha yang memenuhi kebutuhan turis Timur Tengah.
Daya pikat itu membuatnya memutuskan untuk kembali menikmati Puncak. Kedatangan berikutnya, Khalid membawa serta Zahra (20), perempuan yang baru dinikahinya. "Ke sini bulan madu," kata Khalid saat ditemui di Bukit Paralayang Puncak, dua pekan lalu.
Kedatangan turis Timur Tengah tentu membawa perubahan. Di Warung Kaleng, perubahan begitu drastis.
Kurun 15 tahun ini, di Tugu Utara dan Tugu Selatan telah muncul lebih dari 10 tempat penukaran uang, lebih dari 10 peternakan kambing dengan penjualan sampai 75 kambing per hari per peternak, lebih dari 20 restoran timur tengah, hampir 30 komunitas wisata, 200 ojek sepeda motor dan persewaan mobil, serta 200 orang dalam dua kelompok juru masak khusus (hadamah). "Semua melayani kebutuhan turis Timur Tengah," ujar Teguh.
Puncak di Bogor yang meliputi tiga kecamatan, yakni Cisarua, Megamendung, dan Ciawi, merupakan tempat keberadaan hampir 1.500 penginapan berupa vila, losmen, dan hotel serta 250 restoran dan kedai.
Perputaran uang dalam pariwisata akhir pekan atau masa libur, menurut catatan Kompepar Puncak, bisa tembus Rp 20 miliar per hari. Saat libur, Puncak bisa diserbu 200.000 turis per hari.
Berubah
Budayawan Bogor, Mardi Liem, mengatakan, kawasan Puncak dulu adalah salah satu konsentrasi komunitas Tionghoa. Komunitas itu biasanya mendekati jalan raya dan pusat ekonomi (pasar).
Tak mengherankan jika di Cisarua dulu juga ada komunitas Tionghoa yang kemudian berbaur, bahkan melebur, bersama komunitas Muslim setempat.
Seusai membangun jalur menembus Puncak sampai Cianjur dan Bandung, pihak kolonial membangun perkebunan teh.
Yang masih tersisa di Cisarua ialah Gunung Mas milik PTPN VIII. Adapun Perkebunan Teh Ciliwung telah bangkrut dan Perkebunan Teh Cisarua Selatan sudah tidak berbekas.