Kawasan itu terletak di samping Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi milik Mahkamah Konstitusi.
Warung Kaleng saat ini dikenal dengan sebutan kampung Arab karena keberadaan deretan bangunan usaha beraksara Arab nyaris tanpa tulisan Indonesia di sana.
Sepanjang 50 meter di kiri dan kanan Jalan Raya Puncak di daerah itu sesak oleh salon, toko wewangian, toko swalayan, tempat penukaran uang, biro wisata, toko peralatan, dan restoran timur tengah.
Di antara bangunan-bangunan bernuansa Timur Tengah itu terselip warung bubur ayam, rumah makan minang, dan kedai internet.
Jangan heran jika di Warung Kaleng berseliweran orang Timur Tengah. Mereka campuran dari pelancong, imigran, atau pengungsi.
Tak perlu mengernyitkan dahi mendengar warga lokal kini fasih berbahasa Arab. Bisa juga terdengar orang Timur Tengah yang terbata dan terdengar lucu saat berbahasa Indonesia atau Sunda.
Sebelum menjadi kampung Arab, deretan bangunan usaha di sana dikuasai warga keturunan Tionghoa, Arab, atau Sunda.
Mereka memanfaatkan tanah partikelir untuk berusaha. Lahan di belakang deretan bangunan usaha saat itu belum padat oleh pembangunan vila dan permukiman.
Ketua Kelompok Penggerak Pariwisata (Kompepar) Puncak Teguh Maulana mengingat, julukan "Warung Kaleng" sudah ada sejak zaman kolonial.
Julukan itu konon karena toko-toko dan kedai di kawasan itu dulu beratap seng yang mirip bahan kaleng.
Sekitar 1970, Jalan Raya Puncak warisan kolonial itu mulai diaspal. Aspal digodok di dalam drum-drum kaleng. Kata Teguh, ada saudagar Arab yang memanfaatkan drum-drum bekas itu untuk dinding bangunan usaha. Julukan Warung Kaleng pun kian lekat di kawasan itu.
Teguh mengingat, waktu itu warung milik orang Tionghoa menjual bahan pangan dan perkakas rumah tangga. Warung yang dimiliki warga keturunan Arab menjual permadani, lampu pelita, dan berbagai perkakas. Warung orang Sunda menjual makanan dan minuman.
Di belakang Warung Kaleng dulu masih terhampar ladang, kebun, bahkan hutan. Rumah, apalagi vila, belum padat. Di Cisarua di kaki Gunung Gede-Pangrango, yang dulu masih asri dan sejuk, Teguh dan teman sekampungnya bermain dan menghabiskan masa kecil.
Dominasi