Puncak menjadi lokasi pemerintah kolonial membangun vila peristirahatan; taman wisata, seperti Riung Gunung; monumen, seperti Istana Cipanas; dan pusat penelitian botani, seperti Kebun Raya Cibodas.
Masyarakat tradisional, menurut budayawan Bogor, Eman Sulaeman, bekerja menggarap lahan partikelir, yakni menjadi petani, pekebun, dan peladang. "Puncak dikenal bukan sekadar penghasil teh, melainkan juga sayur, buah, dan obyek wisata," ucapnya.
Budayawan Bogor, Adenan Taufik, menambahkan, keberadaan kampung Arab di Warung Kaleng berbeda dengan kampung Arab di Kota Bogor.
Di Bogor, kampung Arab di Kelurahan Empang merupakan kebijakan segregasi pemerintah kolonial pada awal abad ke-20.
"Warung Kaleng tidak didesain menjadi kampung Arab," kata Adenan. Perubahan yang drastis terjadi karena desakan industri pariwisata. Karena yang datang dan lama menginap adalah komunitas Timur Tengah, Warung Kaleng pun merespons dengan menyediakan segala kebutuhan. Jadilah ada kecenderungan arabisasi atau kearab-araban.
Pandangan terjadi perubahan yang cenderung kearab-araban di Warung Kaleng ini begitu mencolok.
Sampai sebelum 1995 nyaris tidak dikenal bahwa Puncak menjadi sasaran turis Timur Tengah, apalagi sampai muncul kampung Arab.
Wisata ke Puncak antara lain menikmati lanskap kebun teh, udara sejuk, kolam renang, air terjun, menginap di vila milik teman yang kaya, menjelajah kampung, dan memuaskan diri dengan jajanan dan kuliner Nusantara.
Kini, Warung Kaleng telah berubah menjadi kampung Arab. Namun, ada yang tidak berubah, yakni Jalan Raya Puncak yang selalu macet.
Kepadatan lalu lintas yang akut itu merupakan penyakit lawas yang diderita jauh sebelum kedatangan turis Timur Tengah. (Ambrosius Harto dan Harry Susilo)
---
Artikel ini sebelumnya ditayangkan di harian Kompas edisi Senin, 18 Januari 2016, dengan judul "Dari Kaleng Aspal sampai Kampung Arab.