Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berawal dari "Mata-mata", Ahok Ubah Kenyamanan Puluhan Tahun

Kompas.com - 23/01/2016, 09:16 WIB
Kurnia Sari Aziza

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Pekan ini, pegawai negeri sipil (PNS) DKI dikejutkan dengan sebuah kebijakan yang diputuskan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.

Kebijakan itu adalah penghapusan beroperasinya bus jemputan bagi PNS DKI.

Fasilitas bus jemputan ini dimulai sejak masa pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Soerjadi Soedirdja. Fasilitas ini diberikan untuk memudahkan para PNS DKI mencapai kantornya, baik di Balai Kota maupun kantor wali kota.

Hanya satu rute yang disediakan untuk PNS yang bertempat tinggal di Jakarta, yakni Pondok Kelapa. Sementara bus-bus lainnya mengantarkan para PNS hingga Depok, Bogor, Bekasi, dan Tangerang.

Banyak PNS menikmati fasilitas bus jemputan. Selain menghemat biaya, bus jemputan itu menghemat waktu dan tenaga para pegawai. 

Namun, kenyamanan puluhan tahun ini diubah oleh Basuki.

Berawal dari aduan "mata-mata", Basuki berniat mengalihkan bus jemputan menjadi angkutan umum.

Basuki mendapat laporan, PNS muda kerap mengalami perundungan (bully) di dalam bus. Perundungan yang dimaksud Basuki adalah kursi-kursi di dalam bus "sudah berpenghuni".

"Sekarang kami tanya sama PNS ya, ini namanya ngelunjak, betul-betul ngelunjak sekarang saya bilang. Tanya sama PNS muda, bisa naik enggak? Di-bully lho di dalam bus sama yang sudah duduk, merasa kursinya punya dia," kata Basuki, di Balai Kota, Jumat (22/1/2016).

Kesalahan kedua adalah adanya iuran bulanan yang nilainya berkisar Rp 50.000 hingga Rp 100.000. Bahkan Basuki menengarai ada bus yang menarik penumpang dari warga umum dan dimintai uang.

Adanya bus jemputan ini juga menghambat kinerja PNS DKI. Beberapa PNS DKI, kata dia, menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat demi tidak tertinggal bus.

"Kalau ada atasan minta bawahannya ikut rapat, pasti alasannya, 'Mohon maaf, Pak, Bu, busnya sudah nunggu nih, sudah mau berangkat'. Jadi selalu alasan tidak mau kerja lagi karena busnya akan berangkat. Jadi seolah-olah bus ini lebih penting dibanding pekerjaan," kata Basuki. 

Hal ini kemudian menjadi salah satu topik pembahasan dalam Rapat Pimpinan Gubernur pada 18 Januari 2016 lalu.

Kemudian Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Saefullah menyusun kebijakan itu dalam sebuah surat edaran (SE).

Di dalam SE tersebut, operasional bus jemputan bagi PNS DKI mulai diberhentikan pada 25 Januari 2016 dan disosialisasikan sampai benar-benar berhenti pada 1 Februari 2016.

PNS yang ingin pulang tepat waktu agar meminta pindah ke kelurahan atau pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) terdekat.

Transportasi aman

Bus jemputan akan dialihkan menjadi angkutan umum dan terus memutar hingga pukul 22.00. Bus tidak secara eksklusif menunggu di Balai Kota. 

Surat edaran ini membuat banyak PNS panik dan kebingungan. Contohnya, Hasanah yang sehari-harinya menggunakan bus jemputan nomor 05 dengan rute Balai Kota-Tangerang.

"Ya gimana, saya sudah pakai bus itu dari lama kok. Paling habis ini naik Patas AC dari rumah lanjut Kopaja 502 ke Balai Kota, siap-siap saja kalau banyak copet," kata Hasanah. 

Berbeda dengan Hasanah, Dewi masih berharap agar kebijakan itu batal terlaksana. Pasalnya, ia harus mengeluarkan banyak uang jika ingin menuju rumahnya di Depok.

Paling tidak, Dewi harus menghabiskan Rp 70.000 tiap harinya untuk transportasi menggunakan KRL ditambah dua kali naik ojek.

"Gimana dong ini? Jangan dihapus (operasional bus jemputan) dong bapak-bapak. Sumpah deh, tolong saya. Kita sebagai emak-emak cari angkutan yang aman saja, enggak ada pelecehan, penodongan, pemalakan. Apalagi rute Depok ini sepi, Pak," kata Dewi terus mengeluh. 

Ia pun membantah tudingan Basuki bahwa PNS muda tidak diberi tempat duduk dalam bus tersebut. Sebab, prinsip di dalam busnya adalah "siapa cepat dia dapat". Ia juga mengaku tidak memiliki kursi khusus.

Sementara terkait koordinator yang ada di dalam bus, ia mengaku tiap rute bus memang ada yang bertugas sebagai koordinator.

Koordinator dan iuran

Setiap bulannya, para penumpang mengumpulkan iuran Rp 50.000 per orang untuk kebutuhan sopir, kernet, atau untuk kebutuhan operasional bus. Uang itu untuk menutupi operasional bus ketika anggaran belum cair.

"Bus jemputan ini amat sangat membantu, apalagi bus rute Depok lagi banyak ibu-ibu hamil gede, kasihan naik turun angkot. Enggak ada tag-tag-an di kursi, bus kami juga enggak pernah naikin penumpang dan narikin tarif," kata Dewi. 

Belum ada sehari surat edaran itu beredar ke publik, aturan baru kembali muncul. Basuki batal menghapus operasional bus jemputan. Ia hanya mengubah waktu datang bus jemputan bagi PNS DKI.

Mulai hari Senin, 25 Januari 2016, jam penjemputan dari kantor diundur, yakni menjadi pukul 17.00-17.30.

Kemudian pada poin selanjutnya, pegawai yang pulang tepat waktu pukul 16.00 tidak difasilitasi bus jemputan tersebut. "Memang ada poin yang mesti diubah," kata Saefullah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bacok Pemilik Warung Madura di Cipayung, Pelaku Sembunyikan Golok di Jaketnya

Bacok Pemilik Warung Madura di Cipayung, Pelaku Sembunyikan Golok di Jaketnya

Megapolitan
Pura-pura Beli Es Batu, Seorang Pria Rampok Warung Madura dan Bacok Pemiliknya

Pura-pura Beli Es Batu, Seorang Pria Rampok Warung Madura dan Bacok Pemiliknya

Megapolitan
Tak Ada yang Janggal dari Berubahnya Pelat Mobil Dinas Polda Jabar Jadi Pelat Putih...

Tak Ada yang Janggal dari Berubahnya Pelat Mobil Dinas Polda Jabar Jadi Pelat Putih...

Megapolitan
[POPULER JABODETABEK] Mobil Dinas Polda Jabar Sebabkan Kecelakaan Beruntun di Tol MBZ | Apesnya Si Kribo Usai 'Diviralkan' Pemilik Warteg

[POPULER JABODETABEK] Mobil Dinas Polda Jabar Sebabkan Kecelakaan Beruntun di Tol MBZ | Apesnya Si Kribo Usai "Diviralkan" Pemilik Warteg

Megapolitan
Cara Naik Bus City Tour Transjakarta dan Harga Tiketnya

Cara Naik Bus City Tour Transjakarta dan Harga Tiketnya

Megapolitan
Diperiksa Polisi, Ketum PITI Serahkan Video Dugaan Penistaan Agama oleh Pendeta Gilbert

Diperiksa Polisi, Ketum PITI Serahkan Video Dugaan Penistaan Agama oleh Pendeta Gilbert

Megapolitan
Minta Diskusi Baik-baik, Ketua RW di Kalideres Harap SK Pemecatannya Dibatalkan

Minta Diskusi Baik-baik, Ketua RW di Kalideres Harap SK Pemecatannya Dibatalkan

Megapolitan
Ada 292 Aduan Terkait Pembayaran THR 2024 Lewat Website Kemenaker

Ada 292 Aduan Terkait Pembayaran THR 2024 Lewat Website Kemenaker

Megapolitan
Bantah Gonta-ganti Pengurus Tanpa Izin, Ketua RW di Kalideres: Sudah Bersurat ke Lurah

Bantah Gonta-ganti Pengurus Tanpa Izin, Ketua RW di Kalideres: Sudah Bersurat ke Lurah

Megapolitan
Pelaku Pelecehan Payudara Siswi di Bogor Diduga ODGJ, Kini Dibawa ke RSJ

Pelaku Pelecehan Payudara Siswi di Bogor Diduga ODGJ, Kini Dibawa ke RSJ

Megapolitan
Longsor di New Anggrek 2 GDC Depok, Warga: Sudah Hubungi Semua Pihak, Tidak Ada Jawaban

Longsor di New Anggrek 2 GDC Depok, Warga: Sudah Hubungi Semua Pihak, Tidak Ada Jawaban

Megapolitan
Cuaca Panas Ekstrem di Arab Saudi, Fahira Idris Minta Jemaah Haji Jaga Kondisi Fisik

Cuaca Panas Ekstrem di Arab Saudi, Fahira Idris Minta Jemaah Haji Jaga Kondisi Fisik

Megapolitan
Mahasiswa Dikeroyok di Tangsel, Setara Institute Minta Hentikan Narasi Kebencian Pemicu Konflik

Mahasiswa Dikeroyok di Tangsel, Setara Institute Minta Hentikan Narasi Kebencian Pemicu Konflik

Megapolitan
Khawatir Kalah karena Politik Uang, Hanya 1 Kader PKB Daftar Pilkada Bogor

Khawatir Kalah karena Politik Uang, Hanya 1 Kader PKB Daftar Pilkada Bogor

Megapolitan
Dari 11, 4 Aduan Pekerja di Jakarta Terkait Pembayaran THR 2024 Telah Ditindaklanjuti

Dari 11, 4 Aduan Pekerja di Jakarta Terkait Pembayaran THR 2024 Telah Ditindaklanjuti

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com