KOMPAS.com - Keluarga ini, di tengah impitan ekonomi, sadar tinggal di lokasi ilegal. Mereka tidak menolak pindah, tetapi tidak setuju cara terburu-buru dan solusi yang abu-abu.
”Kami tidak menolak pindah, tetapi kok kami kayak bukan warga negara, ya?” kata Onta (60), warga Pasar Ikan.
Jalan dari potongan kayu itu berderit-derit saat dilalui, Rabu (30/3/2016) siang. Berjalan tertunduk, Onta menapaki jalan yang dahulu dibuatnya itu, mengabaikan tetangganya, segera menuju rumahnya.
Awan hitam berarak di langit Pasar Ikan, RT 001 RW 004, Penjaringan, Jakarta Utara.
”Sejak ada rencana penertiban di sini, makan apa pun tidak enak. Tidur apalagi. Orang mau digusur, kok, kayak begini caranya,” keluh Onta, yang bekerja sebagai pengantar air ke kapal.
Saiti bercerita, sudah lebih dari seminggu dirinya tidur setelah lewat tengah malam. Pasalnya, rencana penertiban itu sebatas omongan dari tetangganya.
Aparat pemerintah tidak pernah datang memberikan sosialisasi, tetapi tiba-tiba memberikan surat peringatan (SP).
Setelah memberikan SP-1 pada Rabu pagi itu, penertiban direncanakan dilakukan pada 10 April mendatang atau hanya 17 hari setelah pemberitahuan penertiban ini dikabarkan.
Kerut di wajah Saiti semakin terlihat saat mengatakan, penertiban kali ini dirinya tidak mendapatkan kompensasi sama sekali.
”Yang lain (warga yang rumahnya di darat) dapat rusunawa. Sementara kami yang tinggal di atas kali tidak. Kok begitu, ya?” ucap ibu dua anak ini. Selama 40 tahun menikah, keluarga ini dua kali digusur.
Selain Onta dan Saiti, 568 keluarga akan terkena penertiban di wilayah ini. Dari jumlah itu, 66 keluarga yang tinggal di atas kali tidak ikut direlokasi.
Selebihnya, yang memiliki KTP, kartu keluarga, dan bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) akan direlokasi ke rumah susun sewa (rusunawa).
Sebanyak 254 pedagang di Pasar Ikan akan dipindahkan ke pasar-pasar yang ada di Jakarta.
Camat Penjaringan Abdul Khalid mengatakan, pemerintah memberikan prioritas kepada warga di darat.
”Kalau yang di atas tanggul, mereka sudah tahu itu dilarang, tetapi tetap membangun. Kami sudah memberikan sosialisasi sejak beberapa minggu lalu,” ujarnya.
Tahun 2015, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta mencatat, Pemprov DKI Jakarta menggusur 8.145 keluarga dan 6.283 unit usaha.
Sebanyak 95 kasus penggusuran dilakukan tanpa melalui musyawarah dengan warga. Bahkan, 72 di antaranya memosisikan warga dalam keadaan tanpa solusi (Kompas, 24/2).
Tahun ini, penertiban Kalijodo yang menggusur ratusan keluarga juga telah berlangsung. Saat itu, selain waktu yang mepet, dialog dan komunikasi dengan warga pun minim.
Pakar tata kota dari Universitas Tarumanagara, Suryono Herlambang, menilai ada yang salah dengan penertiban warga di Jakarta belakangan ini.
Komunikasi dan dialog antara warga dan pemerintah diabaikan. Tahapan yang seharusnya dijalankan juga seperti tak berlaku.
Di satu sisi, rakyat marjinal tidak berdaya menghadapi masalah ini karena harus berhadapan dengan sejumlah unsur pemangku kepentingan yang ada.
”Saya takut nanti kita semua menganggap seperti inilah pola pembongkaran yang benar. Di satu sisi penataan membuat kota jadi lebih rapi, tetapi di sisi lain ini menggusur mereka yang tidak berdaya,” ucapnya.
Masyarakat yang tak punya pilihan lagi akan berpikiran pendek. Padahal, dari awal dijanjikan adanya perubahan yang lebih baik kepada warga Jakarta.
Idealnya, kata Suryono, Pemprov DKI memberitahukan jauh hari sebelumnya.
Dalam waktu itu, aparatur melakukan pendampingan dan arahan kepada masyarakat terkait rencana penertiban ataupun relokasi.
”Yang paling penting juga, pemerintah membuka konsep penataan dan penertiban di suatu wilayah. Jadi, orang-orang tahu dan bisa ikut mengawasi apa yang direncanakan, seperti apa perjalanannya, hingga hasilnya di kemudian hari,” ucapnya.
Selain Menara Syahbandar dan Museum Bahari, juga terdapat Pasar Heksagon dan tempat pelelangan ikan yang usianya telah tua.
Sejauh ini tidak pernah ada pemberitahuan kawasan ini akan ditata seperti apa ke depannya.
”Kalau mau menata, sekalian apartemen di sekitar sini dibongkar. Itu dulu daerah bersejarah juga,” ujarnya.
Di sekitar Pasar Ikan dan kawasan Luar Batang berdiri sejumlah apartemen. Dari rumah Onta, misalnya, jika menghadap ke utara, beberapa blok apartemen telah terbangun.
Di sisi barat, sekitar 500 meter, berdiri apartemen bercat merah dan kuning.
”Kalau digusur dan tak dapat rusunawa, saya tinggal di kapal saja. Ibu biar pulang ke Bogor. Ya, namanya warga kecil, kami bisa apa?” ucap Onta.
------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Maret 2016, di halaman 1 dengan judul "”Ya, Namanya Warga Kecil, Kami Bisa Apa?”"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.