Sena Surya Delima (12) memeluk adiknya erat. Di dekatnya terdapat barang-barang terbungkus kardus atau kain yang diikat seadanya. Suara alat berat yang membongkar bangunan makin dekat. Kecemasan sedari pagi, bahkan sejak berhari-hari sebelumnya, begitu mencekam kawasan Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta Utara, Senin (11/4/2016).
Wajar saja mereka cemas. Rumah tempat mereka berteduh selama ini sebentar lagi rata terlindas zaman.
Orang-orang berlarian. Beberapa di antaranya berteriak menyuruh aparat berseragam dan bersenjata pentungan mundur. Hari beranjak siang, bertambah terik saat suasana makin panas.
Namun, tak lama kemudian, para pihak yang berhadapan sepakat untuk tidak memperparah situasi. Kondisi pun berangsur-angsur tenang.
Tak jauh dari titik ketegangan itu, sebuah bangunan berukuran 15 meter x 12 meter berdiri. Lantai rumah itu dari papan, begitu pula dindingnya.
Sebagian besar barang di rumah tersebut telah dipindahkan ke kapal yang ditambatkan di depannya.
Rumah berlantai dua itu memang tepat berada di pinggir tanggul pelabuhan. Kapal-kapal berukuran 5 gros ton bersandar rapi di sana.
"Sedih aja harus ninggalin ini rumah. Dari kecil sudah di sini," ucap Sena mengelap matanya yang merah sambil tetap memeluk adiknya, Muhammad Dafa Satria (10). Sena dan sedikitnya delapan anggota keluarganya adalah penghuni rumah papan itu.
"Kalau belajar, di ruang tengah situ," katanya menunjuk ruang tengah sekaligus ruang tamu rumah itu.
Siswa kelas IV SD Negeri Penjaringan 01 Pagi itu mengaku paling suka mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Namun, kemarin, bocah yang selalu masuk lima besar di sekolahnya itu tak bisa mengikuti pelajaran favoritnya. Pembongkaran bangunan di Pasar Ikan, termasuk rumahnya, membuat dia tak masuk sekolah hari itu.
Dari sisi selatan rumah Sena terdengar suara bangunan yang roboh "digaruk" alat berat. Pembongkaran telah dimulai sejak pukul 06.30. Ratusan bangunan rata dengan tanah dalam sekejap.
Di jembatan merah, yang menghubungkan kawasan Pasar Ikan dan Luar Batang, orang- orang hilir mudik mengangkut sejumlah barang. Baskom, bak air, rak piring, pintu kamar, hingga kasur, mereka angkut.
"Jangankan sekolah, mikir tempat tinggal yang baru saja kami masih bingung," ucap Dedi Ireng (56), ayah Sena, yang mengaku sejak lahir tinggal di kawasan tepi laut tersebut.
Yang membuat Dedi sangat sedih, rumah itu ia bangun dengan tangan sendiri, tanpa bantuan pihak lain. Dia memotong bambu, mengangkut papan, dan memasang seng sendirian.
 Bukan miliknya