Polemik reklamasi Pantai Jakarta yang menghangat akhir-akhir ini merupakan sebuah contoh kasus yang amat jelas bagaimana selama ini segenap elite dan aparat negara mengelola kehidupan bernegara.
Berbagai kontroversi muncul sehubungan dengan persoalan penting yakni untuk kepentingan siapakah kebijakan tersebut diambil?
Kentroversi selanjutnya adalah munculnya indikasi persekongkolan bisnis-politik melalui praktik suap yang berujung ditetapkannya anggota DPRD DKI Jakarta M. Sanusi sebagai tersangka kasus suap oleh KPK, dan dicekalnya Bos Agung Sedayu Aguan Sugianto dan Staf Khusus Gubernur DKI Jakarta Sunny Tanuwidjaya.
Dalam pemaknaan politik sebagai upaya mengelola hidup bersama secara adil dan setara, maka apakah sebuah kebijakan publik telah menjadi manifestasi dari makna politik di atas atau bertentangan dengannya dapat diukur dari tiga hal:
Pertama, siapakah yang diuntungkan dari kebijakan tersebut dan siapakah yang dieksklusikan (disingkirkan) karenanya. Hal ini berhubungan dengan karakter hidup bernegara. Apakah bendera bisnis/privat ataukah bendera publik yang sedang dikerek oleh segenap pembuat kebijakan.
Kedua, mengapa sebuah kebijakan menguntungkan satu kelompok sosial tertentu dan merugikan yang lain. Pertanyaan ini terkait dengan corak kekuasaan yang eksis yakni terkait dengan topangan sosial-material dari kekuasaan, bagaimana relasi sosial dan hubungan imbal-balik antara pemegang otoritas publik dan aliansi sosial yang mendukungnya.
Ketiga, bagaimana persetujuan kolektif dibangun sehingga mendapatkan dukungan bahkan bagi kelompok-kelompok sosial yang dirugikan.
Landasan pengetahuan seperti apakah yang dipakai untuk mendapatkan legitimasi sekaligus menjadi bagian dari pola adaptasi elite politik untuk merawat dan dan mempertahankan kekuasaannya.
Kasus reklamasi Pantai Jakarta adalah sebuah kasus yang terang dan telanjang untuk memahami relasi kebijakan dan politik sesuai dengan ketiga pertanyaan pokok diatas.
Kebijakan Untuk Siapa?
Siapakah yang diuntungkan dan siapakah yang dipinggirkan hak dan kepentingannya dalam reklamasi Pantai Jakarta.
Seperti diutarakan jurnalis Kompas Wisnu Nugroho (Kompas.com, Senin 4 April 2016), jawaban pertanyaan pertama atas siapa yang terutama diuntungkan untuk reklamasi Jakarta yang akan mewujud dalam 17 pulau itu mengarah kepada kepentingan bisnis dari sembilan pengembang.
Baca: Pak Ahok, untuk Siapa Reklamasi Pantai Jakarta?
Pengembang-pengembang tersebut adalah Muara Wisesa Samudra (anak perusahaan APL yang tersangka menyuap anggota DPRD DKI Jakarta M Sanusi), Pelindo II, Manggala Krida Yudha, Taman Harapan Indah, dan Jaladri Kartika Ekapaksi. Lima pengembang ini masing-masing mendapat izin prinsip atas satu pulau.
Sementara empat pengembang lain adalah Jakarta Propertindo (2 pulau), KEK Marunda (2 pulau), Pembangunan Jaya Ancol (4 pulau), Kapuk Naga Indah (5 pulau). Kapuk Naga Indah yang mengembangkan lima pulau adalah anak perusahaan Agung Sedayu Group.
Dari fakta sosial tersebut lalu muncul pertanyaan, bukankah hal yang wajar bahwa dalam setiap proyek pembangunan dan kebijakan publik, membutuhkan dukungan pemodal untuk merealisasikannya.
Kita dapat menjawabnya dengan memaparkan siapakah pihak yang dirugikan dan tidak mendapatkan akses di dalamnya.
Yang paling mudah untuk kita telusuri adalah warga Jakarta yang tidak saja miskin namun juga kelas menengah biasa yang hampir mustahil mendapatkan akses dalam memanfaatkan kebijakan tersebut.
Belum kemudian kita mendiskusikan bencana ekologis berupa ancaman banjir yang lebih besar akibat pelambatan arus sungai sebagai imbas reklamasi, rusaknya habitat pantai akibat pencemaran lingkungan yang mempengaruhi hajat hidup komunitas nelayan, rusaknya tatanan ekologis dari daerah sekitar ketika pekerjaan pengurukan pasir dilakukan.
Karakter kebijakan yang kuat terindikasi hanya memenuhi kepentingan sektor privat dan memarjinalisasi keseluruhan kepentingan warga ini yang patut kita gugat.
Kekuasaan Predatorian
Terkait pertanyaan kedua, mengapa sebuah kebijakan cenderung mementingkan kelompok sosial tertentu dibandingkan lain, ini tidak bisa dilepaskan dari karakter kekuasaan yang eksis dan menyejarah.
Sebagai contoh, dugaan terjadinya praktik korupsi dan kolusi dalam kasus reklamasi Pantai Jakarta seperti telah disebutkan diatas memperlihatkan bahwa dalam konteks ekonomi-politik di Jakarta sebuah kebijakan tidak diambil dalam situasi yang free value (bebas nilai) dan free interest (bebas kepentingan).
Adanya indikasi penyuapan dalam kasus di atas memperlihatkan watak kekuasaan yang berkarakter oligarkhi predatoris. Pola kekuasaan yang bercirikan hubungan kuasa yang memberi ruang luas bagi konsentrasi antara otoritas kekuasaan dan kemakmuran beserta dengan segenap pertahanan kolektifnya.
Dalam konstruksi politik di Indonesia, penguasaan atas institusi publik masih menjadi sarana utama bagi praktik pencarian rente para birokrat dan politisi, maupun cara mengakumulasi, merawat dan mempertahankan kemakmuran bagi kalangan pebisnis.
Dalam corak kekuasaan yang kolutif dan koruptif seperti di atas maka tidaklah mengherankan ketika sebuah kebijakan publik secara vulgar cenderung melayani kepentingan privat daripada kepentingan kolektif rakyat sebagai warga negara.
Ketika kita berhadapan dengan karakter kekuasaan yang secara sistemik koruptif dan predatorian lebih memperhatikan agenda publik sebelum membicarakan figur.
Agenda tersebut adalah mengontrol dan menggugat karakter kekuasaan yang tidak melayani kepentingan warganya.
Buang semua kepercayaan ilusif bahwa kondisi politik kita akan menjadi lebih baik, bersih dan demokratis hanya dengan menyerahkan urusan-urusan publik kita pada figure pemimpin.
Aspirasi dan hajat hidup kita dalam ruang public hanya bisa kita perjuangkan bersama ketika kita memaksimalkan kapasitas kita sebagai warganegara dengan memastikan negara bekerja bagi kepentingan kita.
Keberpihakan Pengetahuan
Terkait dengan pertanyaan ketiga bahwa kemampuan kekuasaan yang melayani kepentingan sebagian kecil kepentingan privat membutuhkan pengetahuan sebagai sarana hegemonik untuk tetap berkuasa.
Seperti diutarakan oleh penulis asal Inggris Owen Jones (2015) dalam The Establishment: And how they get away with it disebutkan bahwa kaum yang mapan dan berkuasa menggunakan berbagai cara sedemikian rupa termasuk yang utama adalah instrument pengetahuan untuk tetap berkuasa dalam sistem demokrasi dimana segenap orang dewasa memiliki hak pilihnya.
Saat ini pengetahuan dominan yang diinternalisasi kepada warganegara adalah bahwa kehidupan bernegara yang digerakkan oleh motif berburu keuntungan dan melayani kepentingan privat pada akhirnya akan membawa kita pada kebebasan kesejahteraan, kemajuan dan kebahagiaan.
Berbagai peminggiran atas aspirasi dan kepentingan orang-orang miskin dan pengabaian persoalan ekologis menyadarkan kita bahwa pengetahuan seperti ini adalah ilusif yang berusaha dijejalkan dalam pikiran dan mentalitas hidup kita bermasyarakat.
Akhirnya seperti yang diungkapkan oleh Bane pejuang keadilan yang diposisikan sebagai kaum kriminal dalam film Batman: The Dark Knight Rises yakni: reclaim and take back your city from the domination of plutocrat and powerful group!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.