JAKARTA, KOMPAS.com — Laporan hasil pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap laporan keuangan Pemprov DKI Jakarta tahun anggaran 2014 menjadi titik awal kekesalan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok kepada lembaga audit keuangan negara tersebut.
Dalam laporan itu, BPK mendapat 70 temuan dalam laporan keuangan daerah senilai Rp 2,16 triliun. Salah satunya, pengadaan tanah RS Sumber Waras di Jakarta Barat yang dinilai tidak melewati proses pengadaan memadai.
Nilai kerugiannya diindikasi sebesar Rp 191 miliar.
Pemprov DKI membeli lahan milik Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) senilai Rp 800 miliar pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Perubahan DKI 2014. BPK menilai, lahan seluas 3,6 hektar itu tidak memenuhi syarat yang dikeluarkan Dinas Kesehatan DKI.
Selain itu, lahan tersebut tidak siap bangun karena tergolong daerah banjir dan tidak ada jalan besar. Tak hanya itu, BPK menyebut, nilai jual obyek pajak (NJOP) dari lahan yang dibeli Pemprov DKI sekitar Rp 7 juta per meter. Namun, DKI malah membayar NJOP sebesar Rp 20 juta.
Ahok selama ini berkeyakinan, pembelian sebagian lahan RS Sumber Waras dilaksanakan dengan proses administrasi yang benar. Ia tak mengakui audit BPK terkait RS Sumber Waras itu. Bahkan, Ahok tak jarang menyebut BPK tendensius.
Ahok juga sudah dimintai keterangan perihal itu oleh BPK dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sikapnya masih sama, yaitu yakin tidak ada kesalahan prosedur pembelian lahan RS Sumber Waras dan menyebut audit BPK ngaco.
"Sekarang saya ingin tahu, KPK mau tanya apa. Orang jelas BPK-nya ngaco begitu, kok," kata Ahok di gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (12/4/2016).
Kronologi
Ahok mengakui, niat pembelian lahan RS Sumber Waras muncul ketika sejumlah pekerja di rumah sakit tersebut berdemo di depan Balai Kota. Mereka mengadu akan di-PHK, sementara lahan RS akan diubah menjadi mal oleh PT Ciputra Karya Utama.
Ahok geram dan berjanji bakal membeli lahan RS Sumber Waras tersebut. Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta sempat merekomendasikan Ahok untuk tidak membangun rumah sakit di lahan RS Sumber Waras karena tidak laik dan masih terikat dengan pihak swasta.
Dinkes DKI Jakarta memberi alternatif lokasi lain untuk pembangunan RS khusus kanker dan jantung.
"Saya langsung disposisi ke Sekda untuk segera dianggarkan pembangunan (RS) sesuai aturan. Artinya apa? Saya enggak ngebet beli RS Sumber Waras. Bagi saya, yang penting, Jakarta ada RS kanker dan jantung tambahan. RS yang ada sudah penuh," kata Ahok.
Kronologi:
Pembelaan Ahok
Saat Rapat Paripurna penyampaian Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) APBD 2014 pada 16 September 2015, Ahok menjelaskan, pengadaan RS Sumber Waras merupakan hasil kesepakatan bersama antara eksekutif dan legislatif pada Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2014.
Dalam pelaksanaan program itu, kata Ahok, Pemprov DKI melakukan pengadaan lahan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 beserta turunannya dengan nilai harga tanah sesuai NJOP tahun 2014. Nilai transaksi sudah termasuk nilai bangunan dan seluruh biaya administrasi, atau dengan kata lain Pemprov DKI tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan lainnya.
Penetapan NJOP berdasarkan zonasi sebagai satu hamparan tanah (satu nomor obyek pajak menghadap Jalan Kyai Tapa) yang ditetapkan sejak tahun 1994 sesuai basis data yang diserahkan oleh Kementerian Keuangan cq Dirjen Pajak.
Adapun total pembelian lahan yang dikeluarkan oleh Pemprov DKI Jakarta sesuai dengan NJOP, yakni Rp 800 miliar, dengan berbagai keuntungan karena tidak harus membayar biaya administrasi lainnya. Selain itu, bukti formal sertifikat hak guna bangunan (HGB) atas lahan tersebut menunjukkan alamat di Jalan Kyai Tapa.
Sesuai dengan hasil taksiran, nilai pasar lahan tersebut per 15 November 2014 Rp 904 miliar. Artinya, kata Basuki, nilai pembelian Pemprov DKI Jakarta jauh di bawah harga pasar.
Audit BPK dan keterangan Ahok
KPK hingga saat ini masih melakukan penyelidikan terkait adanya laporan kerugian negara dalam pembelian lahan milik RS Sumber Waras. Salah satunya, KPK berupaya membandingkan temuan BPK dan keterangan yang diberikan Ahok.
"Kami mencoba meng-crosscheck, kan sudah kami pegang data audit dari BPK. Kemudian ditanyakan, aturan yang dipakai BPK untuk membuat itu apakah sudah sesuai," ujar Ketua KPK Agus Rahardjo.
KPK hingga kini masih mengumpulkan bukti perihal kasus itu. Mereka juga belum menemukan adanya niat jahat dari penyelenggara negara dalam proses pembelian lahan itu.