Belasan anak lainnya yang ikut orangtua mereka sangat menikmati berada di pulau reklamasi.
Meskipun hidup berdekatan dengan laut sebagai anak nelayan, di Jakarta yang nyaris tanpa pantai publik dan pantai publik yang tersisa tak terawat, Minggu kemarin mungkin menjadi saat pertama kalinya mereka menjejak pasir pantai.
Ketua Forum Kerukunan Nelayan Muara Angke Syarifudin Baso menyampaikan, reklamasi sejauh ini hanya memberikan dampak buruk terhadap nelayan.
Di satu sisi, nelayan kehilangan laut tempat mereka mencari penghidupan sehari-hari.
"Ribuan nelayan tradisional mencari ikan setiap hari di Teluk Jakarta, yang semakin hari penghasilannya semakin berkurang. Kami tidak butuh reklamasi, kami butuh laut," katanya.
Reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta telah berlangsung beberapa tahun. Dua pulau, yang saat ini masih menyatu, telah terbangun di sisi barat Jakarta.
Pulau yang di atasnya telah berdiri ratusan bangunan ini dikembangkan oleh PT Kapuk Naga Indah, anak perusahaan Agung Sedayu Group.
Tidak hanya itu, PT Pembangunan Jaya Ancol juga telah melakukan reklamasi Pulau K, juga PT Pelindo II dan anak perusahaannya, PT Pengembang Pelabuhan Indonesia, yang membangun Pulau N.
Riza Damanik, Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, menegaskan, reklamasi bagaimanapun juga harus segera dihentikan. Dampak reklamasi telah begitu merugikan nelayan, utamanya nelayan kecil.
Setelah dihentikan, tambahnya, pemerintah perlu melakukan audit lingkungan yang menyeluruh.
Dengan begitu, perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan bisa dilakukan dengan tujuan kesejahteraan nelayan. (Saiful Rijal Yunus)
----
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 April 2016, di halaman 25 dengan judul "Menjejak Laut yang Hilang".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.