Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Peraturan Mana yang Kini Jadi Acuan Proyek Reklamasi Teluk Jakarta?

Kompas.com - 19/04/2016, 10:04 WIB
Alsadad Rudi

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah telah memutuskan menghentikan sementara proyek reklamasi di Teluk Jakarta. Penyebabnya karena adanya tumpang tindih peraturan.

Tumpang tindihnya peraturan dinilai menjadi penyebab tidak adanya kewajiban yang jelas terkait perizinan yang harus dipenuhi sebelum penerbitan izin pelaksanaan. Catatan Kompas.com, setidaknya ada empat peraturan yang saling tumpang tindih dalam proyek reklamasi Teluk Jakarta.

Peraturan itu adalah Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Jakarta; Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur; Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007.

Selama ini, pihak-pihak yang terlibat maupun terkena dampak dari proyek reklamasi Teluk Jakarta memiliki argumentasi sendiri. Landasan regulasinya berbeda-beda, tetapi mengacu pada salah satu peraturan di atas.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta selalu menjadikan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 sebagai acuan. Adapun pasal yang digunakan adalah Pasal 4 yang menyebutkan wewenang dan reklamasi pantai utara ada pada Gubernur DKI Jakarta.

Peraturan inilah yang membuat Gubernur Basuki Tjahaja Purnama "Ahok" menilai dirinya memiliki wewenang untuk menerbitkan izin pelaksanaan reklamasi.

Sebab, dia menganggap Gubernur DKI sudah diberi kewenangan dari pemerintah pusat.

"Delegasinya itu ada, kamu tanya deh sama mereka. Ada pasalnya, kok. Jangan aku yang ngomong. Wawancara Setneg, Seskab saja deh," ujar Ahok di Balai Kota, Rabu (6/4/2016).

Namun, di sisi lain, Kuasa Hukum Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta Muhammad Isnur menyatakan, Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tidak berlaku setelah adanya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008.

"Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tidak berlaku karena reklamasi terkait penataan ruang," kata Isnur.

Namun, Kepala Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta Tuty Kusumawati menyatakan dasar hukum tetap mengacu Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995.

"Khususnya ada di Pasal 4, mengatakan bahwa wewenang dan tanggung jawab reklamasi itu ada pada Gubernur DKI Jakarta. Kemudian adanya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008," kata Tuty, di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (4/4/2016).

Menurut Tuty, Perpres Nomor 54 Tahun 2008 tidak mencabut kewenangan pemberian izin oleh Gubernur seperti yang dituangkan dalam Keppres Nomor 52 Tahun 1995.

"Peraturan yang dicabut itu soal tata ruangnya. Kewenangannya dan perizinan itu tidak dicabut," ujar Tuty.

Pada kasus yang lain, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan, Gubernur Basuki tidak pernah meminta rekomendasi darinya saat menerbitkan izin pelaksanaan reklamasi.

Padahal, kata dia, pada Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil disebutkan bahwa izin pelaksanaan reklamasi harus seizinnya.

Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2012 adalah turunan dari Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang kemudian diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014.

"Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan turunan dari Perpres 122/2012 mengatur izin lokasi reklamasi dengan luas di atas 25 hektar (ha) dan izin pelaksanaan reklamasi untuk luas di atas 500 ha membutuhkan rekomendasi dari Menteri Kelautan dan Perikanan," ujar Susi.

Susi mengatakan, atas dasar itu, pihaknya memandang bahwa kewenangan izin pelaksanaan reklamasi pantai utara baru bisa dikeluarkan Gubernur DKI setelah ada rekomendasi dari Susi selaku Menteri Kelautan dan Perikanan.

Selain itu, Susi menegaskan, izin pelaksanaan reklamasi pantai utara baru bisa dikeluarkan Gubernur setelah ada Perda Zonasi Wilayah Pesisir.

"Di sini faktanya, pelaksanaan reklamasi pantura yang telah dilakukan oleh Pemprov DKI dilakukan tanpa rekomendasi Menteri Kelautan dan Perikanan dan tanpa adanya Perda Zonasi Wilayah Pesisir," kata Susi.

Peraturan mana yang jadi acuan?

Dalam rapat yang digelar di kantornya pada Senin (18/4/2016), Menteri Koordiantor Bidang Maritim Rizal Ramli sempat menyinggung soal tumpang tindihnya peraturan serta perdebatan yang terjadi selama ini.

"Kalau kita bahas terus, enggak habis-habis debatnya," ujar Rizal.

Karena itu, ia menegaskan, peraturan yang seharusnya menjadi acuan adalah peraturan terbaru sesuai hierarki yang berlaku di Indonesia.

"Undang-undang lebih tinggi hierarkinya dari keppres maupun perpres. Peraturan yang lama tentu dikalahkan undang-undang yang baru, kecuali ada pasal-pasal pengecualiannya," ucap Rizal.

Jika mengacu pada ucapan Rizal, maka peraturan yang seharusnya kini menjadi acuan proyek reklamasi Teluk Jakarta adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, seperti yang selama ini digunakan oleh Menteri Susi.

Kompas TV Pemerintah Stop Sementara Proyek Reklamasi
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Ada 292 Aduan Terkait Pembayaran THR 2024 Lewat Website Kemenaker

Ada 292 Aduan Terkait Pembayaran THR 2024 Lewat Website Kemenaker

Megapolitan
Bantah Gonta-ganti Pengurus Tanpa Izin, Ketua RW di Kalideres: Sudah Bersurat ke Lurah

Bantah Gonta-ganti Pengurus Tanpa Izin, Ketua RW di Kalideres: Sudah Bersurat ke Lurah

Megapolitan
Pelaku Pelecehan Payudara Siswi di Bogor Diduga ODGJ, Kini Dibawa ke RSJ

Pelaku Pelecehan Payudara Siswi di Bogor Diduga ODGJ, Kini Dibawa ke RSJ

Megapolitan
Longsor di New Anggrek 2 GDC Depok, Warga: Sudah Hubungi Semua Pihak, Tidak Ada Jawaban

Longsor di New Anggrek 2 GDC Depok, Warga: Sudah Hubungi Semua Pihak, Tidak Ada Jawaban

Megapolitan
Cuaca Panas Ekstrem di Arab Saudi, Fahira Idris Minta Jemaah Haji Jaga Kondisi Fisik

Cuaca Panas Ekstrem di Arab Saudi, Fahira Idris Minta Jemaah Haji Jaga Kondisi Fisik

Megapolitan
Mahasiswa Dikeroyok di Tangsel, Setara Institute Minta Hentikan Narasi Kebencian Pemicu Konflik

Mahasiswa Dikeroyok di Tangsel, Setara Institute Minta Hentikan Narasi Kebencian Pemicu Konflik

Megapolitan
Khawatir Kalah karena Politik Uang, Hanya 1 Kader PKB Daftar Pilkada Bogor

Khawatir Kalah karena Politik Uang, Hanya 1 Kader PKB Daftar Pilkada Bogor

Megapolitan
Dari 11, 4 Aduan Pekerja di Jakarta Terkait Pembayaran THR 2024 Telah Ditindaklanjuti

Dari 11, 4 Aduan Pekerja di Jakarta Terkait Pembayaran THR 2024 Telah Ditindaklanjuti

Megapolitan
Ketum PITI Diperiksa Polisi Terkait Laporan Terhadap Pendeta Gilbert

Ketum PITI Diperiksa Polisi Terkait Laporan Terhadap Pendeta Gilbert

Megapolitan
Lurah di Kalideres Tak Masalah jika Digugat soal Penonaktifan Ketua RW, Yakin Keputusannya Tepat

Lurah di Kalideres Tak Masalah jika Digugat soal Penonaktifan Ketua RW, Yakin Keputusannya Tepat

Megapolitan
Polisi Selidiki Kepemilikan Pelat Putih Mobil Dinas Polda Jabar yang Kecelakaan di Tol MBZ

Polisi Selidiki Kepemilikan Pelat Putih Mobil Dinas Polda Jabar yang Kecelakaan di Tol MBZ

Megapolitan
Hanya 1 Kader Daftar Pilkada Bogor, PKB: Khawatir Demokrasi Rusak seperti Pemilu

Hanya 1 Kader Daftar Pilkada Bogor, PKB: Khawatir Demokrasi Rusak seperti Pemilu

Megapolitan
Pemkot Tangsel Bakal Evaluasi Ketua RT-RW Imbas Pengeroyokan Mahasiswa

Pemkot Tangsel Bakal Evaluasi Ketua RT-RW Imbas Pengeroyokan Mahasiswa

Megapolitan
Meski Tersangka Sudah Ditetapkan, Polisi Sebut Penyidikan Kasus Tewasnya Taruna STIP Belum Final

Meski Tersangka Sudah Ditetapkan, Polisi Sebut Penyidikan Kasus Tewasnya Taruna STIP Belum Final

Megapolitan
Mengingat Lagi Pesan yang Ada di STIP, 'Sekolah Ini Akan Ditutup Jika Terjadi Kekerasan'

Mengingat Lagi Pesan yang Ada di STIP, "Sekolah Ini Akan Ditutup Jika Terjadi Kekerasan"

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com