Dalam sebuah kesempatan, Basuki bercerita, namanya sempat ditolak Jokowi yang waktu itu lebih ingin berpasangan dengan aktor Deddy Mizwar. Hitung-hitungan politik, jauh lebih menguntungkan menggandeng Deddy yang sudah terkenal, muslim pula. Sementara Ahok, sosoknya jauh dari menguntungkan secara politik: tidak dikenal, tionghoa, dan non-muslim.
Ahok bercerita, Jokowi sengaja menyandingkan nama Deddy dan Ahok kepada Megawati dengan tujuan Mega akan memilih Deddy yang lebih populer untuk menjadi pendamping Jokowi. Intuisi Mega berkata lain. Ia tidak tertarik dengan Deddy.
"Deddy Mizwar sama Ahok, masa Bu Megawati pilih Ahok sih, kan enggak mungkin. Namun, enggak tahu, pukul 01.00 dini hari, enggak tahu minum obat apa, saya enggak tahu Bu Mega tiba-tiba, pokoknya, diputusin saya (yang jadi calon wagub mendampingi Jokowi). Pak Jokowi pun kaget karena saya yang dipilih Bu Mega. Orang, celana yang disiapkan untuk kampanye juga bukan ukuran saya," cerita Basuki.
Intuisi Mega terbukti. Pilkada DKI Jakarta 2012 rasanya menjadi Pilkada yang paling gempita. Butuh dua putaran untuk menyelesaikannya. Di putaran kedua, Jokowi-Basuki menang mutlak 53,82 persen mengalahkan pasangan Foke-Nachrowi Ramli yang meraih 46,18 persen.
Pilpres 2014
Terakhir, intuisi Megawati kembali menentukan arah politik Indonesia ketika pada Jumat pahing, 14 Maret 2014, ia menetapkan secara resmi Jokowi menjadi calon presiden dari PDI-P.
Lagi-lagi ini bukan perkara mudah. Elektabilitas Jokowi memang melesat saat itu. Namun, ada banyak keraguan tentang sosoknya. Jokowi dianggap melompat terlalu jauh. Belum rampung tugasnya di Jakarta, politisi hijau dari kampung ini diminta untuk bertarung di pilpres.
Kalaupun menang, risikonya besar, menjadi nakhoda negeri ini. Megawati tidak sedang bertaruh untuk partainya, tapi untuk Indonesia. Nasib 250 juta masyarakat Indonesia berada di tangan Mega.
Cerita setelah pilihan itu kita mengalaminya. Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla mengalahkan Prabowo yang menggandeng Hatta Rajasa. Ini adalah pilpres yang paling melelahkan sepanjang sejarah Indonesia.
Hari-hari setelah pilpres pun melelahkan. Ada riak politik yang amat keras di tahun pertama pemerintahan Jokowi-Kalla. Sejumlah politisi PDI-P bahkan berhadap-hadapan secara terbuka dengan Jokowi terkait penyusunan kabinet. Meski suhu politik begitu panas, Mega tetap adem, setidaknya begitu yang terlihat di publik. Ketika semua orang ribut, ia tetap diam. Padahal, salah satu biang keributan itu adalah karena pilihan politiknya atas Jokowi.
Ahok atau bukan Ahok
Kini, intuisi Mega kembali diuji dalam Pilpres DKI Jakarta 2017. Perjalanan memang masih panjang. Pendaftaran bakal calon gubernur dan wakil gubernur baru akan dilakukan sekitar bulan September. Semua menunggu Mega bersuara siapa yang bakal dicalonkan partai moncong putih kali ini. Ia masih menjadi faktor determinan.
Situasi kali inipun tidak mudah. Incumbent Basuki Tjahaja Purna yang "lahir" dari intuisi Mega di tahun 2012 begitu kukuh elektabilitasnya. Masalahnya bukan itu. Soal elektabilitas, sejarah membuktikan, intuisi Mega mampu menaklukkannya.
Pasalnya, ada semacam gengsi yang berbenturan dengan harapan di internal partai dan seperti enggan didamaikan terkait sosok Ahok. Jauh-jauh hari Ahok sudah telah menyatakan diri maju pilkada dari jalur independen bersama "Teman Ahok", relawan pendukungnya. Ahok maju berpasangan dengan Heru Budi Hartono, birokrat Pemprov DKI Jakarta yang disebutnya bersih.