JAKARTA, KOMPAS.com — Kesaksian mantan anggota DPRD DKI Jakarta, Mohamad Sanusi, dalam persidangan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja, yang menjadi terdakwa kasus dugaan suap terkait raperda reklamasi, membuka fakta mengenai kontribusi tambahan 15 persen bagi pengembang.
Sanusi mengakui bahwa kontribusi tambahan bagi pengembang itu dikurangi dari semula 15 persen karena adanya keberatan dari dua bos pengembang besar, yakni Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja dan Chairman Agung Sedayu Group, Sugianto Kusuma alias Aguan.
"Bahasanya berkeluh kesah, 15 persen ini berat sekali," ujar Sanusi saat memberikan keterangan sebagai saksi dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (18/7/2016).
(Baca juga: Terkait Reklamasi, Agung Podomoro Klaim Beri Kontribusi Rp 392 Miliar kepada Pemprov DKI)
Dalam persidangan, jaksa penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memutarkan rekaman pembicaraan Sanusi dengan Ketua Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD DKI Jakarta Mohamad Taufik.
Dalam pembicaraan tersebut, Sanusi menyampaikan bahwa Sugianto Kusuma alias Aguan keberatan dengan tambahan kontribusi 15 persen.
Jaksa Ali Fikri kemudian membacakan berita acara pemeriksaan (BAP) Sanusi yang dibuat saat pemeriksaan di KPK.
Dalam BAP tersebut, Sanusi menjelaskan bahwa Bos Agung Sedayu menjanjikan uang Rp 2,5 miliar, apabila tambahan kontribusi tambahan diatur dalam pasal penjelasan draf raperda.
(Baca juga: Sanusi Akui Bos Agung Sedayu Janjikan Uang agar Raperda Segera Disahkan)
Sebab, dalam pertemuan di Kantor Agung Sedayu Group di Harco Mangga Dua, Aguan menunjukkan kekhawatirannya karena besaran nilai kontribusi ditentukan oleh pemerintah provinsi melalui pergub.
Menurut Sanusi, pengembang meminta agar pasal dalam draf raperda mengatur bahwa tambahan kontribusi dikonversi dari kontribusi sebesar 5 persen.
Alasan lain
Meski demikian, keluhan pengembang ini disebut bukan satu-satunya penyebab kontribusi tambahan sebesar 15 persen dikurangi.
Sebelum kasus ini disidangkan, anggota Balegda DPRD DKI yang lain pernah menyampaikan alasannya.
Salah satunya adalah Wakil Ketua Balegda Merry Hotma yang juga menjadi saksi dalam persidangan Ariesman.
Merry menyampaikan informasi yang berbeda dengan Sanusi. Menurut Merry, tidak ada kajian yang dilakukan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta mengenai besaran angka 15 persen.
Merry membenarkan adanya presentasi yang dilakukan Bappeda DKI kepada Balegda soal penentuan angka 15 persen.
Namun, menurut dia, presentasi tersebut dianggap tidak memuaskan anggota Balegda DKI.
Balegda khawatir besaran nilai tambahan kontribusi sebesar 15 persen akan diubah sewaktu-waktu. Untuk melakukan perubahan, diperlukan revisi peraturan daerah.
"Kalau kami buat sekarang sebesar 15 persen, kan bisa saja berubah dinaikkan angkanya, kan repot kalau harus merevisi perda. Jadi, lebih baik diatur di peraturan gubernur, siapa pun gubernurnya bebas memilih tambahan kontribusi," kata Merry.
(Baca juga: Ini Alasan DPRD DKI Tak Ingin Pengembang Dibebankan Tambahan Kontribusi 15 Persen)
Sanusi juga menyampaikan alasan lain kenapa kontribusi tambahan sebesar 15 persen ditolak Balegda.
Selain karena ada keluhan pengembang, menurut dia, aturan mengenai kontribusi tambahan sebesar itu dinilai tidak memiliki landasan hukum.
Ia juga menilai, besaran tambahan kontribusi 15 persen itu tidak sesuai logika.
Menurut dia, seharusnya nilai tambahan kontribusi tidak sebesar 15 persen, tetapi lebih kecil dari kontribusi yang besarnya 5 persen.
Setelah dihitung, menurut Sanusi, tambahan kontribusi lebih dari dua kali lipat besaran kontribusi yang hanya sebesar 5 persen.
Ia juga berpendapat bahwa tambahan kontribusi yang besar akan merugikan dua badan usaha milik daerah (BUMD) yang menjadi pengembang reklamasi. Kedua BUMD yang dimaksud adalah PT Jakarta Propertindo dan PT Jaya Ancol.