TANGERANG SELATAN, KOMPAS.com - Kantor Fethullah Gulen Chair (FGC) yang menempati lantai dua sebuah gedung di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat, terlihat sepi, Jumat (29/7/2016).
Di pintu-pintunya tertempel sebuah kertas yang menyatakan kelompok studi itu telah pindah kantor. Adapun yang ingin mencari tahu nasib mereka diharapkan menghubungi nomor anggota yang disediakan.
Suara di ujung telepon meminta Kompas.com menghubungi Ali Unsar, Direktur FGC.
Ketika dihubungi dan ditanya mengenai nasib FGC, pria kebangsaan Turki itu pun mengungkapkan kesedihan dan kemarahannya atas tekanan Pemerintah Turki melalui kedutaan besarnya di Indonesia.
"Bahkan dari pihak Kedutaan Besar Turki di Indonesia mendatangi UIN dan memberikan informasi-informasi yang tidak sesuai mengenai Fethullah Gulen Chair," kata Ali kepada Kompas.com, Jumat (29/7/2016).
"Bahkan mereka menyarankan untuk mengadakan kerja sama dengan pihak lain saja daripada bekerja sama dengan Fethulah Gulen Chair yang tidak menguntungkan UIN," ujarnya.
Padahal, sejak berdiri pada 2009, Ali mengatakan bahwa FGC menyumbang banyak pemikiran tentang Turki, ajaran pemikiran Gulen, hingga mengadakan kegiatan sosial budaya bagi keluarga UIN dan masyarakat umum.
Fethullah Gulen adalah ulama yang dituding sebagai auktor intelektual di balik kudeta di Turki yang gagal beberapa waktu lalu. Gulen pun kini diketahui telah mengasingkan diri di Amerika Serikat.
FGC sendiri merupakan jaringan organisasi nirlaba internasional. Adalah Profesor Komaruddin Hidayat, yang pernah menempuh studi di Turki, yang membawa FGC ke UIN.
Kala itu, ia masih menjabat sebagai rektor. Ali pun mengatakan hingga sebelum peristiwa kudeta berlangsung di Turki, FGC tak pernah dipermasalahkan.
Setelah kudeta bergulir, barulah kondisi politik dalam negerinya berpengaruh terhadap FGC dan organisasi sejenis.
Ali menuturkan, Rektor UIN Dede Rosyada telah membicarakan baik-baik persoalan ini ke Ali setelah didatangi oleh Kedubes Turki.
Demi kepentingan dan kebaikan bersama, Ali pun menerima pemutusan kerja sama dan memutuskan FGC untuk berhenti saja.
"Kami tidak ingin memberatkan atau meyusahkan siapa pun. Maka untuk saat ini Fethullah Gulen Chair berhenti," ujarnya.
(Baca: Menerima Tekanan dari Kedubes Turki, Fethullah Gulen Chair UIN Berhenti)
Ali pun menolak bila kelompok yang diasuhnya selama ini dikaitkan dengan ajaran terorisme.
Gerakan Hizmet yang selama ini sering menjadi kajian FGC, menurut Ali, adalah gerakan yang berasal dari masyarakat, bukan dari suatu pemerintah atau lembaga asing, yang bergerak di bidang pendidikan yang mengajarkan tentang toleransi dan kasih sayang.
Ia pun gusar jika Hizmet disebut sebagai gerakan teroris. (Baca juga: Permintaan Kedubes Turki, UIN Syarif Hidayatullah Stop Kerja Sama dengan "Fethullah Gulen Chair")
"Tekanan politik seperti ini telah mendegradasi kualitas pendidikan yang sudah bertahun-tahun memberikan kontribusi positif bagi masyarakat bahkan suatu bangsa dan negara. Dan bisa saja hal ini akan mematikan proses pendidikan," ujarnya.
Ali menyebutkan, dalam kurun waktu 2009-2016, sebanyak 140 seminar, simposium, atau diskusi telah mereka adakan.
Para ulama, pemuka agama atau akademisi dari Amerika, Australia, Turki, Jepang, Korea, Eropa dan Negara-negara Arab diundang untuk mengikuti kegiatan tersebut.
Perwakilan dari Indonesia pun kerap disertakan dalam berbagai kegiatan seminar atau simposium sejenis di luar negeri.
Selain itu, FGC juga memberikan kursus bahasa secara gratis untuk bahasa Turki, bahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa Rusia, dan bahasa Belanda.
Lomba membaca buku tiap tahun diadakan, dan pada perayaan Ramadhan, FGC selalu memberikan bantuan sosial bagi anak-anak muda yang butuh kegiatannya disponsori.
"Dan hal ini pun kami tidak meminta budget sedikit pun dari UIN," kata Ali.
Dia berharap tudingan terhadap kelompok dan gerakannya tidak berlangsung berlarut-larut. Apalagi, jika Pemerintah Indonesia sampai harus mengorbankan sekolah-sekolahnya ditutup karena tekanan politik dari Turki.
"Sungguh, fitnah ini tak akan menodai orang-orang yang memiliki hati yang suci. Seorang muslim tidak bisa menjadi teroris, dan teroris tidak akan pernah menjadi muslim," kata Ali.
(Baca juga: Turki Sebut 9 Lembaga Pendidikan di Indonesia Terkait Kelompok Fethullah Gulen)