Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jalu Priambodo

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian INSTRAT.

Mengapa Koalisi Pimpinan PDIP Dapat Mengalahkan Ahok?

Kompas.com - 11/08/2016, 06:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHeru Margianto

Kontestasi Pilkada DKI terjadi dalam beberapa fase. Fase pertama berupa penentuan koalisi dan pasangan calon, dilanjutkan dengan masa kampanye dan diakhiri dengan pemungutan suara.

Akan tetapi, jika menilik pada singkatnya masa kampanye yang disediakan serta semakin banyak batasan dalam melakukan kampanye saat ini, maka fase pertama dapat dikatakan memiliki pengaruh cukup besar bagi penentuan hasil pilkada.

Menilik pada peta terbaru Pilkada DKI, fase pertama hampir dipastikan akan mencapai puncaknya sebentar lagi. Hal ini ditandai dengan adanya deklarasi partai pendukung petahana Basuki Tjahaja Purnama oleh Partai Golkar, Nasdem dan Hanura.

Di sisi yang lain, hadir pula deklarasi koalisi partai penantang petahana yang dipimpin oleh PDI Perjuangan dan diikuti oleh Partai Gerindra, Demokrat, PKS, PAN, PPP dan PKB yang menamakan diri sebagai “Koalisi Kekeluargaan”.

Sejauh mana peta politik ini berpengaruh terhadap hasil akhir Pilkada?

Menurut kajian kami peta ini akan membawa pengaruh yang cukup besar. Khususnya, bagi berkurangnya suara petahana.

Tak dapat dipungkiri eksistensi kandidat petahana di DKI Jakarta sangat dominan. Hal ini disebabkan belum hadirnya profil penantang yang akan masuk dalam arena kontestasi.

Dominasi ini tercermin dalam pantauan survei yang dirilis secara terbuka di awal hingga pertengahan tahun 2016 ini. Namun nampaknya keunggulan tersebut akan terkikis dengan koalisi partai politik terbaru.

Mengapa demikian?

Selama periode akhir tahun 2015 hingga awal tahun 2016 kami melakukan beberapa kali pengambilan data melalui survei untuk memetakan persepsi pemilih di DKI. Survei ini melibatkan 1.200 responden yang dipilih secara acak multi jenjang mewakili pemilih DKI Jakarta.

Hasil pengambilan data ini mengkonfirmasi survei yang dilakukan pada rentang waktu serupa oleh beberapa lembaga lain yang telah dipublikasikan kepada publik.

Memang terlihat sekali dominasi Basuki Tjahaja Purnama dibandingkan kandidat lainnya. Namun kami mendapatkan temuan lain yang tidak kalah menarik.

Berdasarkan analisa kami terhadap data lapangan, kami mendapatkan temuan berharga bahwa pemilih Ahok dan PDIP memiliki irisan yang cukup besar.

Menariknya, pemilih loyal PDIP cenderung akan meninggalkan Ahok ketika PDIP menentukan kandidat lain.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI Warga mengenakan topeng bergambar wajah Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok saat memberikan dukungan kepada Ahok terkait perseteruan antara gubernur DKI Jakarta dengan DPRD DKI Jakarta dalam penetapan RAPBD 2015 di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (1/3/2015).
Kami memperoleh simpulan ini setelah melakukan beberapa kali simulasi dan hasilnya cukup konsisten. Ahok akan kehilangan sekitar 10% suara yang berpindah ke calon yang didukung PDIP.

Angka ini memang cukup kecil, namun bisa dimaklumi karena ketika itu belum ada calon selain Ahok yang resmi didukung PDIP.

Pada masa pemungutan suara, perpindahan suara ini bisa saja mencapai 20% karena PDIP memiliki pemilih terafiliasi yang paling besar dibandingkan partai lain.

Selain itu ada faktor lain menyangkut koalisi PDIP yang kami nilai dapat berpengaruh terhadap suara Ahok. Faktor ini di luar faktor pemilih loyal yang juga dapat menggoyang Ahok dari singgasananya sebagai pemuncak elektabilitas hasil survei.

Berikut beberapa faktor tersebut:

Pertama, faktor Jokowi. Tak bisa dipungkiri bahwa Ahok dapat terpilih lebih karena faktor Jokowi. Harus diingat bahwa Ahok sendiri meski berstatus petahana namun tidak mendapatkan jabatan melalui pemilihan langsung.

Ketika PDIP memilih kandidat lain, maka kita bisa berharap PDIP akan menggunakan pengaruhnya untuk menekan Jokowi agar tidak memberi dukungan politik kepada Ahok.

Kedua, klaim nasionalisme versus primordialisme. Tak dapat dipungkiri, isu primordialisme masih memiliki pengaruhnya di Pilkada DKI Jakarta.

Kami mendapatkan bahwa di antara pemilih, ada sekitar 48% yang mempertimbangkan agama, 10% yang mempertimbangkan suku, dan 17% yang mempertimbangkan gender.

Ahok berada pada posisi yang kurang menguntungkan karena berasal dari agama minoritas. Untuk mengimbangi isu ini, Ahok butuh dukungan dari partai nasionalis terbesar agar bisa mengangkat isu nasionalisme melawan primordialisme.

Dengan demikian Ahok akan mengklaim mewakili nasionalisme dan lawannya terutama dari koalisi berbasis agama akan dipojokkan dengan isu primordial.

Kahfi Dirga Cahya Dari kiri, Ketua DPW Demokrat DKI Jakarta Nahrowi Ramli, Ketua DPW PKS DKI Jakarta Syakir Purnomo, Plt Ketua DPD PDI-P DKI Jakarta Bambang DH, Ketua DPW PAN Jakarta Eko Patrio, Ketua DPD Gerindra DKI Jakarta Muhammad Taufik, Ketua DPW PPP Jakarta Abdul Azis dan Ketua DPW PKB DKI Jakarta Hasbiallah Ilyas di Restoran Bunga Rampai, Cikini, Jakarta Pusat, Senin (8/8/2016). Tujuh partai itu sepakat membentu "Koalisi Kekeluargaan" dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.
Ternyata, selain Ahok gagal merapat pada partai nasionalis terbesar, yakni PDIP, partai bernuansa agama juga sepakat meninggalkan isu ini dan bergabung dengan koalisi pimpinan PDIP.

Ketiga, klaim kerakyatan. Kedekatan Ahok dengan para cukong membuat kecurigaan di kalangan akar rumput sangat besar terhadap Ahok. Ditambah lagi banyak yang merasa pendekatan Ahok terhadap akar rumput sangat jauh berbeda dengan Jokowi.

Janji kampanye Jakarta Baru yang diusung Jokowi-Ahok untuk merapihkan perkampungan kumuh tidak terealisasi diganti dengan penggusuran dan relokasi. Ahok butuh PDIP sebagai partai wong cilik untuk mengembalikan lagi citra merakyat yang telah hilang.

Keempat, mesin politik. Dalam sejarah Pilkada DKI, kekuatan mobilisasi partai politik masih sangat besar pengaruhnya. Paling tidak ada tiga partai teratas yang sanggup melakukan mobilisasi di DKI, yakni PDIP, Gerindra dan PKS. Hanya tiga partai ini saja yang sanggup memenuhi Gelora Bung Karno dalam kampanye terbuka di Jakarta.

Ketiganya ternyata membangun koalisi untuk menantang Ahok. Mobilisasi DKI tidak hanya akan melibatkan tokoh partai tingkat provinsi, namun juga melibatkan tokoh politik tingkat nasional. Dengan demikian Ahok akan kehilangan dukungan dari para tokoh nasional yang cukup banyak.

Melihat paparan tersebut, kehilangan dukungan PDIP apalagi ditambah dengan terbentuknya koalisi partai yang dipimpin PDIP merupakan pukulan berat bagi kandidat petahana Basuki Tjahaja Purnama.

Namun pukulan di fase pertama ini belum akan membuat Basuki takluk begitu saja. Masih ada faktor lain yang harus dipenuhi oleh penantang Ahok.

Kredibilitas calon yang akan diajukan oleh koalisi penantang Ahok merupakan salah satu yang sangat berpengaruh.

Kehadiran Tri Rismaharini yang merupakan kader PDIP dalam kontestasi Pilkada DKI menarik untuk dinantikan.

Sebab, kehadiran Risma berpotensi membuat Ahok kehilangan satu klaim lagi di kalangan pemilih DKI, yakni sebagai satu-satunya kandidat kepala daerah berpengalaman dan berprestasi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Mahasiswa STIP Tewas Dianiaya Senior, Keluarga Minta Keadilan dan Tanggung Jawab Sekolah

Mahasiswa STIP Tewas Dianiaya Senior, Keluarga Minta Keadilan dan Tanggung Jawab Sekolah

Megapolitan
Mahasiswa STIP Tewas Diduga Dianiaya Senior, Keluarga Temukan Banyak Luka Lebam

Mahasiswa STIP Tewas Diduga Dianiaya Senior, Keluarga Temukan Banyak Luka Lebam

Megapolitan
Taruna STIP Tewas Dianiaya Senior, Keluarga Sebut Korban Tak Punya Musuh

Taruna STIP Tewas Dianiaya Senior, Keluarga Sebut Korban Tak Punya Musuh

Megapolitan
Otopsi Selesai, Jenazah Taruna STIP yang Tewas Dianiaya Senior Akan Diterbangkan ke Bali Besok

Otopsi Selesai, Jenazah Taruna STIP yang Tewas Dianiaya Senior Akan Diterbangkan ke Bali Besok

Megapolitan
Jadi Tempat Prostitusi, RTH Tubagus Angke Diusulkan untuk Ditutup Sementara dan Ditata Ulang

Jadi Tempat Prostitusi, RTH Tubagus Angke Diusulkan untuk Ditutup Sementara dan Ditata Ulang

Megapolitan
Heru Budi Diminta Tegur Wali Kota hingga Lurah karena RTH Tubagus Angke Jadi Tempat Prostitusi

Heru Budi Diminta Tegur Wali Kota hingga Lurah karena RTH Tubagus Angke Jadi Tempat Prostitusi

Megapolitan
Keberatan Ditertibkan, Juru Parkir Minimarket: Cari Kerjaan Kan Susah...

Keberatan Ditertibkan, Juru Parkir Minimarket: Cari Kerjaan Kan Susah...

Megapolitan
BPSDMP Kemenhub Bentuk Tim Investigasi Usut Kasus Tewasnya Taruna STIP

BPSDMP Kemenhub Bentuk Tim Investigasi Usut Kasus Tewasnya Taruna STIP

Megapolitan
Status Taruna STIP yang Aniaya Junior Bakal Dicopot

Status Taruna STIP yang Aniaya Junior Bakal Dicopot

Megapolitan
Duka di Hari Pendidikan, Taruna STIP Tewas Dianiaya Senior

Duka di Hari Pendidikan, Taruna STIP Tewas Dianiaya Senior

Megapolitan
Mahasiswanya Tewas Dianiaya Senior, Ketua STIP: Tak Ada Perpeloncoan, Murni Antar Pribadi

Mahasiswanya Tewas Dianiaya Senior, Ketua STIP: Tak Ada Perpeloncoan, Murni Antar Pribadi

Megapolitan
Fakta-fakta Kasus Pembunuhan Mayat Dalam Koper di Cikarang

Fakta-fakta Kasus Pembunuhan Mayat Dalam Koper di Cikarang

Megapolitan
Bagaimana jika Rumah Potong Belum Bersertifikat Halal pada Oktober 2024? Ini Kata Mendag Zulhas

Bagaimana jika Rumah Potong Belum Bersertifikat Halal pada Oktober 2024? Ini Kata Mendag Zulhas

Megapolitan
Tewasnya Mahasiswa STIP di Tangan Senior, Korban Dipukul 5 Kali di Bagian Ulu Hati hingga Terkapar

Tewasnya Mahasiswa STIP di Tangan Senior, Korban Dipukul 5 Kali di Bagian Ulu Hati hingga Terkapar

Megapolitan
Fenomena Suhu Panas, Pemerintah Impor 3,6 Juta Ton Beras

Fenomena Suhu Panas, Pemerintah Impor 3,6 Juta Ton Beras

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com