Kejaksaan kini telah mengantongi nama pemodal yang dimaksud, namun enggan membocorkannya karena takut yang bersangkutan akan melarikan diri. Pemodal itu disebut sebagai 'pemain lama' dalam penyerobotan tanah negara.
Kejaksaan menduga masih ada tangan lain yang bermain dalam korupsi lahan ini selain pejabat BPN. Sebab untuk mengurus HGB, ahli waris juga membutuhkan warkah atau riwayat tanah dan surat tidak sengketa yang diterbitkan oleh Kelurahan, berdasarkan keterangan dari Ketua RT dan Ketua RW.
Surat dari kelurahan itu ditemukan saat penggeledahan di BPN, namun pihak-pihak yang tanda tangannya tercantum di situ mengaku tak pernah menandatangani. Untuk memiliki tanah, bea-nya juga perlu dibayar ke Suku Dinas Pelayanan Pajak Jakarta Selatan.
Lurah Grogol Utara Jumadi mengaku memang ada orang yang sempat membayar PBB atas lahan itu. Namun tak menyebut siapa dan kapan.
Dari hasil pemeriksaan sementara oleh jaksa, IR merupakan warga di sekitar situ. Begitu juga saudara-saudaranya yang tercantum dalam girik. Bapaknya disebut-sebut sebagai jagoan Betawi di kawasan itu.
Kompas.com telah menemui dua orang pedagang tanaman yang selama berpuluh-puluh tahun mengokupasi lahan ini. Mereka adalah Cakram dan Nuri.
Nuri menceritakan, pada tahun 1974, warga Betawi yang tinggal di kawasan itu angkat kaki setelah ada pengusaha yang membebaskan tanah itu.
Sejak itu, rumah-rumah mewah mulai dibangun, ruko dan pusat perbelanjaan juga didirikan. Dia dan Cakram memilih berdagang tanaman di lahan yang disebut sebagai 'buangan' itu.
Ia mengaku tak kenal dengan IR, hanya pernah mendengar namanya disebut-sebut. Cakram menyebut sudah ratusan kali orang silih berganti ke lahan itu untuk mengukur.
Mereka berdua tak tahu secara pasti lahan ini milik siapa. Hanya saja, bulan lalu, segerombolan pejabat pemerintah datang memasang plang yang menyatakan tanah itu milik Pemprov.
Di dalam plang hanya tertulis tanah yang terbelah oleh Jalan Biduri Bulan itu masing-masing milik Pemprov DKI Jakarta dengan peruntukan sarana pendidikan dan sarana olahraga, yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Aset dan Daerah.
Namun di plang tidak tercantum nomor Surat Pelepasan Hak (SPH) yang seharusnya ada sebagai bukti hak kepemilikan.
Yovandi menyebut penyerobotan aset Pemprov bukan hal baru. Banyaknya aset yang tak diurus kepemilikannya menjadi celah bagi jual beli tanah secara serampangan.