Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Empat Dasawarsa Bajaj sebagai Angkutan Keempat

Kompas.com - 22/08/2016, 20:49 WIB


Oleh: Mukhamad Kurniawan

Sejak ditetapkan sebagai salah satu jenis angkutan umum, pertengahan Juni 1975, bajaj belum beringsut dari jalanan Ibu Kota. Moda ini bertahan melintasi sembilan periode gubernur. Namun, selama itu pula kendaraan beroda tiga ini mengingkari "takdir" sebagai angkutan lingkungan pengganti becak yang melayani permukiman.

Peraturan Daerah DKI Jakarta tentang Pola Dasar dan Rencana Induk Jakarta Tahun 1965-1985 membawa perubahan penting transportasi Jakarta. Produk hukum ini tidak lagi mengakui becak sebagai angkutan umum. Selain dinilai menjadi biang keladi ketidaktertiban lalu lintas, becak dianggap sebagai cermin eksploitasi manusia atas manusia.

Pada tahun 1967 Gubernur Ali Sadikin merintis penghapusan becak. Perlahan pemakaian becak dikurangi di pusat-pusat kota. Tiga tahun kemudian dia mengeluarkan instruksi yang melarang produksi dan pemasukan becak ke Jakarta.

Moda-moda angkutan baru pun diperkenalkan sebagai pengganti becak. Beberapa di antaranya masih melekatkan nama becak, seperti bemo (becak mobil), mobet (motor betjcak), dan helicak (helikopter becak). Lalu muncul super mobet yang belakangan dikenal sebagai bajaj.

Surat Keputusan Gubernur DKI pada Juni 1975 memasukkan bajaj sebagai anggota angkutan umum jenis keempat selain minicar, helicak, dan mebea. Jenis IV merupakan angkutan lingkungan atau melayani wilayah permukiman. Keberadaannya melengkapi angkutan jenis I-III, yakni kereta api, bus kota, dan taksi.

Berdasarkan surat keputusan itu, keberadaan minicar, helicak, dan mebea dinilai belum mampu menggantikan becak. Sebab, realisasi pengadaan angkutan baru hanya mencapai 2.200 kendaraan di tahun kedua. Padahal, targetnya 10.000 kendaraan. Pengenalan dan penetapan bajaj sebagai jenis angkutan IV diharapkan menutup kekurangan itu. (Kompas, 28 Juni 1975)

Upaya menghapus dan menggantikan becak tak pernah surut. Sayangnya, kendaraan jenis IV tumbuh, tetapi becak tetap beroperasi dalam jumlah yang tak kecil. Pada 1979, Gubernur Tjokropranolo bahkan menyatakan Pemprov DKI membatasi jumlah kendaraan jenis IV maksimal 10.000 unit dan tak lagi mengeluarkan izin baru.

Moda baru tidak berhasil mewadahi pengemudi becak. Sebab, kenyataannya kendaraan baru dimiliki oleh para pemilik modal, sementara mantan pengemudi becak menjadi buruh. Jumlah becak yang resmi terdaftar masih 5.806 unit, sementara becak yang tak terdaftar dan beroperasi mencapai ratusan unit. (Kompas, 6 Maret 1979)

Ketimbang kendaraan jenis IV lain, bajaj bertahan karena unggul dari sisi ekonomi. Kendaraan lain, seperti bemo dan helicak, cenderung surut. Pemicunya, antara lain, karena ongkos pemeliharaan yang mahal sehingga berdampak terhadap target setoran yang tinggi.

Bemo juga dianggap tidak menggantikan becak yang multifungsi. Bemo surut karena tidak efisien untuk jarak dekat dan tidak bisa masuk ke gang-gang sempit. Helicak dan mebea akhirnya punah. Sementara bajaj bertahan meski menghadapi banyak rintangan.

Hingga tahun 1990-an, upaya pemerintah mengalihkan pengemudi dan fungsi becak berlanjut. Ada beberapa kendaraan yang juga diperkenalkan ke Jakarta sebagai "penantang" bajaj, seperti tuk-tuk dan toyoko pada Mei dan Oktober 1990.

Secara fisik, tuk-tuk dan toyoko mirip bajaj. Bajaj generasi pertama yang beroperasi di Jakarta memiliki mesin 150 cc dan merupakan produksi India. Sementara tuk-tuk bermesin Daihatsu 350-500 cc produksi Thailand.

Pada tahun 2004, pemerintah mengenalkan kancil yang digadang bakal menggantikan bajaj. Pada tahap awal, Pemprov DKI mengizinkan operasi 250 unit kendaraan yang juga dikenalkan sebagai kendaraan angkut niaga cilik irit dan lincah ini.

Akan tetapi, moda ini tak begitu saja diterima awak angkutan. Ketua Paguyuban Bajaj Jakarta, ketika itu, Tarjono mengatakan, para pengusaha dan pengemudi bajaj menolak kancil karena secara ekonomis tidak terjangkau.

"Harga kancil terlalu mahal, satu unit Rp 42 juta, sedangkan bajaj sekitar Rp 14 juta hingga Rp 16 juta per unit," ujarnya. (Kompas, 24 Juni 2004)

Keunggulan secara ekonomi inilah yang membuat bajaj tetap diminati dan bertahan. Seperti halnya becak, jumlah moda ini terus bertambah, bahkan pemerintah membatasi jumlah tak lebih dari 15.000 unit. Pada 1990, Pemprov DKI mencatat 14.623 unit. Jumlahnya diklaim dinas perhubungan masih 14.424 unit tahun 2014.

Pemprov DKI pun akhirnya mempertahankan bajaj, tetapi mendorong pengalihan bahan bakar dari minyak ke gas untuk menekan polusi. Data Dinas Perhubungan DKI Jakarta, jumlah bajaj berbahan bakar gas bertambah dari 2.755 unit tahun 2012 menjadi 6.197 unit tahun 2014. Sebaliknya, bajaj berbahan bakar minyak berkurang dari 11.509 unit menjadi 8.183 unit pada kurun yang sama.

Tuntutan-tantangan

Aldo (34), pengemudi bajaj yang biasa mangkal di Stasiun Cikini, menyatakan, sejak beralih dari bajaj berbahan bakar minyak ke gas, dirinya merasa lebih nyaman dalam berkendara. "Kendaraan lama berisik dan bergetar. Sekarang sudah empat tak (berbahan bakar gas), jadi lebih mulus, lebih irit," ujarnya.

Menurut Aldo, kebutuhan bahan bakar gas rata-rata hanya Rp 25.000 untuk operasi pukul 07.30 hingga 20.00. Sebelumnya, ketika masih memakai bajaj oranye (berbahan bakar minyak), dia mengeluarkan Rp 60.000 untuk membeli premium.

Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Andri Yansyah dalam sejumlah kesempatan menyatakan, pihaknya menargetkan pengalihan bajaj berbahan bakar minyak ke gas selesai tahun ini. Dinas mengimbau pengusaha menjual bajaj lama untuk membeli bajaj baru dengan mekanisme izin penggantian. Andri mengancam bakal terus menilang bajaj oranye yang kedapatan beroperasi di jalanan.

Selain tuntutan berubah ke gas, pengusaha bajaj harus beradu dengan angkutan berbasis aplikasi beberapa tahun terakhir. Kemunculan angkutan berbasis aplikasi membuat persaingan semakin sengit.

Budianto (45), sopir bajaj yang biasa mangkal di kawasan Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat, menyatakan, jumlah penumpang yang diangkut paling banyak 15 penumpang per hari. Padahal, dia rata-rata bekerja 15 jam per hari hingga pukul 21.00. Sebelum ojek aplikasi muncul, dia bisa mendapatkan hingga 30 penumpang dalam sehari. "Dulu, penumpang yang cari bajaj. Sekarang, bajaj yang cari penumpang," ujarnya.

Selain menambah waktu kerja, pengemudi bajaj harus pintar mengatur jadwal agar operasi efektif. Budianto, misalnya, biasa beroperasi di Stasiun Tanah Abang pukul 07.00 hingga 09.00. Setelah itu, dia memilih untuk beristirahat hingga jam makan siang.

Widya (27), wiraswastawan pengguna bajaj, mengatakan, dirinya masih tertarik memilih bajaj untuk bepergian jarak dekat. Harga yang masih bisa ditawar juga jadi alasan dia menggunakan moda transportasi tersebut.

Seperti moda angkutan konvensional lain, bajaj di Ibu Kota tengah menghadapi ujian berat hukum alam ala Darwin, survival of the fittest. Siapa yang kuat, dialah yang menang.

(C04)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Agustus 2016, di halaman 28 dengan judul "Empat Dasawarsa Angkutan Keempat".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kecelakaan di UI, Saksi Sebut Mobil HRV Berkecepatan Tinggi Tabrak Bus Kuning

Kecelakaan di UI, Saksi Sebut Mobil HRV Berkecepatan Tinggi Tabrak Bus Kuning

Megapolitan
Polisi Periksa 10 Saksi Kasus Tewasnya Siswa STIP yang Diduga Dianiaya Senior

Polisi Periksa 10 Saksi Kasus Tewasnya Siswa STIP yang Diduga Dianiaya Senior

Megapolitan
Diduga Ngebut, Mobil Tabrak Bikun UI di Hutan Kota

Diduga Ngebut, Mobil Tabrak Bikun UI di Hutan Kota

Megapolitan
Pembunuh Wanita Dalam Koper Sempat Tinggalkan Mayat Korban di Kamar Hotel

Pembunuh Wanita Dalam Koper Sempat Tinggalkan Mayat Korban di Kamar Hotel

Megapolitan
Siswa STIP Dianiaya Senior di Sekolah, Diduga Sudah Tewas Saat Dibawa ke Klinik

Siswa STIP Dianiaya Senior di Sekolah, Diduga Sudah Tewas Saat Dibawa ke Klinik

Megapolitan
Terdapat Luka Lebam di Sekitar Ulu Hati Mahasiswa STIP yang Tewas Diduga Dianiaya Senior

Terdapat Luka Lebam di Sekitar Ulu Hati Mahasiswa STIP yang Tewas Diduga Dianiaya Senior

Megapolitan
Dokter Belum Visum Jenazah Mahasiswa STIP yang Tewas akibat Diduga Dianiaya Senior

Dokter Belum Visum Jenazah Mahasiswa STIP yang Tewas akibat Diduga Dianiaya Senior

Megapolitan
Polisi Pastikan RTH Tubagus Angke Sudah Bersih dari Prostitusi

Polisi Pastikan RTH Tubagus Angke Sudah Bersih dari Prostitusi

Megapolitan
Mahasiswa STIP Tewas Diduga akibat Dianiaya Senior

Mahasiswa STIP Tewas Diduga akibat Dianiaya Senior

Megapolitan
Berbeda Nasib dengan Chandrika Chika, Rio Reifan Tak Akan Dapat Rehabilitasi Narkoba

Berbeda Nasib dengan Chandrika Chika, Rio Reifan Tak Akan Dapat Rehabilitasi Narkoba

Megapolitan
Lansia Korban Hipnotis di Bogor, Emas 1,5 Gram dan Uang Tunai Jutaan Rupiah Raib

Lansia Korban Hipnotis di Bogor, Emas 1,5 Gram dan Uang Tunai Jutaan Rupiah Raib

Megapolitan
Polisi Sebut Keributan Suporter di Stasiun Manggarai Libatkan Jakmania dan Viking

Polisi Sebut Keributan Suporter di Stasiun Manggarai Libatkan Jakmania dan Viking

Megapolitan
Aditya Tak Tahu Koper yang Dibawa Kakaknya Berisi Mayat RM

Aditya Tak Tahu Koper yang Dibawa Kakaknya Berisi Mayat RM

Megapolitan
Kadishub DKI Jakarta Tegaskan Parkir di Minimarket Gratis

Kadishub DKI Jakarta Tegaskan Parkir di Minimarket Gratis

Megapolitan
Koper Pertama Kekecilan, Ahmad Beli Lagi yang Besar untuk Masukkan Jenazah RM

Koper Pertama Kekecilan, Ahmad Beli Lagi yang Besar untuk Masukkan Jenazah RM

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com