Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lima Abad Salah Urus Jakarta

Kompas.com - 01/09/2016, 19:32 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Ibu Kota sejak zaman purba hingga di abad modern ini adalah kawasan dengan banyak sungai dan berawa-rawa.

Kondisi ini adalah hal mendasar yang menurut Prof Dr Hadi Susilo Arifin, pakar manajemen lanskap dan ekologi DAS dari IPB, ataupun sejarawan Restu Gunawan, yang mendalami sejarah banjir Jakarta, harus dipahami betul baik oleh para pemangku kebijakan maupun warga penghuni kota.

(Baca juga: Kisah Para Jawara Penjaga Kali di Jakarta)

Prof Hadi, saat dihubungi Jumat (26/8/2016), mengatakan, perlu dipahami aturan bantaran kali adalah ruang milik publik milik umum yang harus bebas dari bangunan apa pun.

Siapa pun wajib mematuhi Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 63 Tahun 1993 dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011.

”Kenyataan bahwa mereka sudah bermukim di bantar sungai, jauh sebelum peraturan itu diberlakukan, tidak bisa menjadi pembenaran,” katanya.

Hadi menegaskan, sungai lebih baik ditata secara alami. Tetapi, kondisi lapangan berkata lain. Tepi kali yang berbatasan dengan aspal jalan atau berkontur curam diturap beton.

Ada baiknya beton dibuat bercelah agar pohon atau semak belukar bisa tumbuh. Penyerapan air ke tanah pun bisa terus terjadi.

Ia juga mengingatkan pemerintah yang masih sering menerabas prinsip normalisasi aliran sungai, yaitu tidak boleh meluruskan aliran sungai yang berbelok-belok.

Sungai secara alami berkelok-kelok berfungsi menahan air selama mungkin di daratan.

Jika dibuat lurus-lurus, itu namanya kanal yang berfungsi sebagai drainase, membuat air cepat sampai ke laut.

Selain itu, karakteristik sungai di kepulauan dan daratan benua sangat berbeda. Tidak bisa menyamakan sungai di Jakarta dengan kota di Eropa.

Sungai yang melintasi benua biasanya panjang, berarus tenang, dan jauh dari laut. Tinggal di tepiannya pun dianggap tak berbahaya.

Sungai di kepulauan itu pendek-pendek, ketinggian 0-1.000 meter di atas permukaan laut, arus deras dan cepat.

Areal bantaran sungainya tak cocok untuk hunian atau tempat usaha. ”Sungai di daratan kepulauan itu kerap banjir bandang,” katanya.

Restu yang berkarier di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini menegaskan, tidak ada cerita di dalam sejarah kalau Jakarta bisa bebas banjir.

Penyebabnya adalah kondisi kawasan ini dan berbagai faktor yang melingkupinya.

”Kalau kita melihat aliran-aliran sungai ini, sebenarnya Jakarta memang kota sungai dulu sampai sekarang. Dengan melihat kondisi ini, harus kita sadari bagaimana kita mengadaptasi dengan lingkungan sekitar ini,” kata Restu saat menjadi narasumber pada diskusi ”Jakarta Kota Sungai” di Redaksi Kompas, beberapa waktu lalu.

Adaptasi itu, tambah Restu, sudah dilakukan penghuni awal Jakarta. Lihatlah Ciliwung.

Pada zaman prasejarah, sekitar 3000-1000 tahun sebelum Masehi, sudah ditemukan di situs-situs tak jauh dari sungai ini.

Sedikitnya, ada 18 situs arkeologis yang terletak di aliran Ciliwung dari Jatinegara misalnya di Kebon Nanas, Cawang, Cililitan, dan lainnya.

Di Daerah Aliran Sungai Pesanggrahan, tinggalan sejarah antara lain batu besar yang disebut batu tapak di Wisma Mas, Cinangka, Sawangan, dan makam serta sejenis batu besar lain di kawasan Cinere, Depok.

Salah meniru Amsterdam

Restu juga menyebut rekayasa sungai demi kepentingan kelangsungan hidup warga sekitar juga dilakukan sejak Kerajaan Tarumanegara yang dipimpin Raja Purnawarman.

Ia diketahui memerintahkan penggalian kanal yang lebih ditujukan untuk mengatur pengairan sawah.

Di awal tahun 1500-an itu juga, perubahan tata kota Jakarta dan perusakannya dimulai.

Penjajah khususnya Belanda menguasai Jakarta dan menyebutnya dengan Batavia. Belanda mengiris-iris Ciliwung menjadi kanal-kanal.

”Saya menduga Belanda salah sangka tentang topografi dan geografi Jakarta. Dia membandingkan Batavia seperti seolah-olah Amsterdam. Jadi, di Batavia, Ciliwung dipotong-potong semaunya sendiri untuk pelayaran, tetapi tidak memperhitungkan sedimentasi dan Gunung Salak yang ada di selatan. Sementara di Amsterdam tidak ada gunung dan perilaku hidup orang Eropa dan orang Asia itu juga berbeda,” paparnya.

Kegagalan ini semestinya menjadi cermin apakah kanal itu akan selalu menjadi prioritas dalam pengendalian banjir di Jakarta ini.

Dari tahun 1500 sampai 1830, Jakarta sudah tidak menjadi kota yang sehat. (Baca juga: DKI Inventarisasi Pembebasan Lahan untuk Normalisasi Kali Krukut)

Dari tahun 1830 sampai 1911, data masterplan 1913 pengendalian banjir Jakarta oleh Belanda menunjukkan Belanda hanya berupaya agar kawasan tertentu, seperti kawasan Menteng dan Kota Tua, tidak banjir.

”Pemerintah kolonial jugalah yang mengubah lahan di Puncak, Bogor, dari hutan jadi kebun teh pemicu erosi serta sedimentasi besar-besaran di sungai-sungai di hilir,” kata Restu.

Restu juga mempertanyakan apakah pola kanalisasi yang diterapkan di era kolonial itu tetap relevan diterapkan sekarang.

”Tahun 1923, dengan penduduk Jakarta 30.000 jiwa saja, Belanda sudah berencana membangun kanal barat, kanal timur, dan sodetan-sodetan. Sodetan-sodetan itu yang kini mau dilanjutkan lagi pembangunannya,” katanya.

Baik Prof Hadi maupun Restu menyiratkan, Jakarta saat ini perlu terobosan baru dalam menata kota.

Terobosan atas dasar studi riil kondisi serta kebutuhan sekarang demi kelangsungan kota ini. Jangan lagi terulang berkubang kebobrokan dalam lima abad ke depan.

Kompas TV Tanggul Jebol, Kali Pesanggrahan Banjiri Permukiman

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Mengaku Kerja di Minimarket, Pemuda Curi Uang Rp 43 Juta dari Brankas Toko

Mengaku Kerja di Minimarket, Pemuda Curi Uang Rp 43 Juta dari Brankas Toko

Megapolitan
Kronologi Pria di Pondok Aren Gigit Jari Rekannya hingga Putus, Pelaku Tak Senang Teman Korban Ikut Memarkirkan Kendaraan

Kronologi Pria di Pondok Aren Gigit Jari Rekannya hingga Putus, Pelaku Tak Senang Teman Korban Ikut Memarkirkan Kendaraan

Megapolitan
Syarat Maju Pilkada DKI Jalur Independen: KTP dan Pernyataan Dukungan Warga

Syarat Maju Pilkada DKI Jalur Independen: KTP dan Pernyataan Dukungan Warga

Megapolitan
17 Kambing Milik Warga Depok Dicuri, Hanya Sisakan Jeroan di Kandang

17 Kambing Milik Warga Depok Dicuri, Hanya Sisakan Jeroan di Kandang

Megapolitan
Pintu Rumah Tak Dikunci, Motor Warga di Sunter Dicuri Maling

Pintu Rumah Tak Dikunci, Motor Warga di Sunter Dicuri Maling

Megapolitan
Viral Video Geng Motor Bawa Sajam Masuk Kompleks TNI di Halim, Berakhir Diciduk Polisi

Viral Video Geng Motor Bawa Sajam Masuk Kompleks TNI di Halim, Berakhir Diciduk Polisi

Megapolitan
Ibu Pengemis Viral yang Paksa Orang Sedekah Bakal Dipindahkan ke Panti ODGJ di Bandung

Ibu Pengemis Viral yang Paksa Orang Sedekah Bakal Dipindahkan ke Panti ODGJ di Bandung

Megapolitan
Pembunuh Wanita Dalam Koper Sempat Curi Uang Korban

Pembunuh Wanita Dalam Koper Sempat Curi Uang Korban

Megapolitan
Ketua RW Nonaktif di Kalideres Bantah Gelapkan Dana Kebersihan Warga, Klaim Dibela DPRD

Ketua RW Nonaktif di Kalideres Bantah Gelapkan Dana Kebersihan Warga, Klaim Dibela DPRD

Megapolitan
Menjelang Pendaftaran Cagub Independen, Tim Dharma Pongrekun Konsultasi ke KPU DKI

Menjelang Pendaftaran Cagub Independen, Tim Dharma Pongrekun Konsultasi ke KPU DKI

Megapolitan
DBD Masih Menjadi Ancaman di Jakarta, Jumlah Pasien di RSUD Tamansari Meningkat Setiap Bulan

DBD Masih Menjadi Ancaman di Jakarta, Jumlah Pasien di RSUD Tamansari Meningkat Setiap Bulan

Megapolitan
Tak Hanya Membunuh, Pria yang Buang Mayat Wanita di Dalam Koper Sempat Setubuhi Korban

Tak Hanya Membunuh, Pria yang Buang Mayat Wanita di Dalam Koper Sempat Setubuhi Korban

Megapolitan
Polisi Duga Ada Motif Persoalan Ekonomi dalam Kasus Pembunuhan Wanita di Dalam Koper

Polisi Duga Ada Motif Persoalan Ekonomi dalam Kasus Pembunuhan Wanita di Dalam Koper

Megapolitan
Pria di Pondok Aren yang Gigit Jari Rekannya hingga Putus Jadi Tersangka Penganiayaan

Pria di Pondok Aren yang Gigit Jari Rekannya hingga Putus Jadi Tersangka Penganiayaan

Megapolitan
Dituduh Gelapkan Uang Kebersihan, Ketua RW di Kalideres Dipecat

Dituduh Gelapkan Uang Kebersihan, Ketua RW di Kalideres Dipecat

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com