Inilah mengapa beberapa tahun yang lalu Jalaluddin Rakhmat (tanpa melihat simbolitas syiah-nya) sempat membuat sebuah buku yang berjudul “Dahulukan Akhlak di atas Fiqih”. Pengetahuan yang luas harus dibekali dengan akhlak mulia yang mapan, begitulah pesan Kang Jalal.
Perenungan kritis ini selalu dilakukan oleh tokoh-tokoh agama yang mendahulukan akhlak di atas pengetahuannya sendiri. Sosok seperti Musthafa Bisri, Emha Ainun Nadjib dan banyak tokoh agama bijak lainnya melakukan perenungan tersebut dengan memperhatikan identifikasi-identifikasi simbolik-substantif kemudian dijadikan pendapat-pendapat yang tidak melukai siapapun. Mengapa?
Mereka melakukan perenungan kritis tersebut untuk melakukan harmonisasi terhadap nilai kritis yang dibangun dan kemudian dieksplorasikan dengan nurani tanpa kegaduhan yang mencederai.
Berbeda dengan “beberapa” kaum bersurban dan “beberapa” kaum menengah yang baru belajar agama di mana mereka seakan-akan dangkal dalam sensitivitas etis dan melahirkan kondisi yang surplus akan kegaduhan.
Inilah yang dikatakan oleh Yudi Latif dalam tulisannya “Berpolitik Dalam Sunyi” bahwa nama Tuhan kerap diseru, tetapi Tuhan sendiri sebagai manifestasi kebenaran, keindahan, dan keadilan tertinggi telah lama menghilang, terusir oleh kedangkalan dan kegaduhan (Kompas, 19/10/09).
Harapan Masyarakat kritis
Masyarakat kritis secara ideal adalah masyarakat yang melakukan otokritik berdasarkan akhlak mulia dan pengetahuan yang mendalam. Dalam kasus berpolitik, lebih khususnya Pemilu dan Pilkada, masyarakat kritis mengoksploresi daya nalarnya terhadap identifikasi-identifikasi masalah, melakukan sistemasi terhadap geo-politik secara keseluruhan yang tidak terpisah dan melahirkan analisis beserta solusi yang berdasarkan daya nalar dan sistematika berfikir.
Iklim Pilkada DKI contohnya, sebenarnya iklim pilkada DKI merupakan pertarungan manajerial yang sedang berlangsung. Bagaimanapun juga iklim pilkada DKI bukanlah pertarungan agama yang sedang berlangsung. Kekhawatiran kaum sparta bersurban sehingga melakukan demonstrasi besar-besaran dengan jargon yang menakutkan sebagai implementasi aksi, merupakan kekhawatiran yang tidak didasarkan pada tawaran solutif manajerial dari persoalan kompetensi kepemimpinan.
Agama sebagai tata nilai yang tidak kacau seharusnya menghadirkan “akhlak mulia” sebagai otokritik terhadap kepemimpinan Basuki Thahaja Purnama. Akhlak mulia yang tentunya dapat dieksplorasi sebagai kepemimpinan yang santun tanpa menghilangkan sisi ketegasan dan kewibawaan dari sebuah kepemimpinan itu sendiri.
Basuki Tjahaja Purnama misalnya memiliki masalah terhadap etika-etika ketegasan politik yang dihadirkan secara vulgar dan kasar.
Pandji Pragiwaksono secara santun menjelaskan secara gamblang bahwa Basuki Thahaja Purnama dalam perspektif kepemimpinan rentan akan melahirkan perpecahan terhadap persatuan nasional apabila tidak mampu berubah secara karakter kepemimpinan.
Maka, secara premis, persoalan Basuki Tahaja Purnama alias Ahok sebagai pemimpin bukanlah persoalan jargon keyakinan dan agama apalagi penistaan agama itu sendiri, akan tetapi lebih pada soal karakter kepemimpinan yang seharusnya tidak sering melukai beberapa pihak.
Di sisi lain, kaum muda menengah yang sedang terjebak dengan pemetaan konflik “lover dan hater” seharusnya melahirkan pendapat-pendapat dan gagasan yang lebih solutif serta mendasarkan gagasan tersebut pada identifikasi persoalan secara sistematik, menghadirkan pengetahuan manajerial, dan mengeksplorasi analisanya secara mapan yang tidak gaduh dan kasar.
Bagaimanapun juga, otokritik yang berdasarkan pada pengetahuan-pengetahuan yang sudah saya paparkan dengan mengakui secara eklektik pekerjaan yang telah dilakukan oleh calon petahana merupakan contoh bagaimana melakukan otokritik terhadap petahana tanpa harus sama-sama dari pihak pendukung dan lawan menistakan akhlak mulia. Bukankah akhlak mulia merupakan tujuan tertinggi sebuah nilai religius itu sendiri?
Bukankah ketika kita menistakan akhlak mulia dalam melakukan kritik, maka secara tidak langsung kita menistakan agama itu sendiri?
Wallahu-a’lam bishshawab. Wallahul muwwafiq billahi ilaa aqwaami thariq. Wabillahi taufiiq wal-hidayah. Wassalam.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.