Setelah hampir 10 tahun berjualan di sana, kabar akan diselenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi Non Blok 1992 datang. Mereka pun diimbau untuk pindah. Waktu itu, para pedagang direlokasi.
Tempat relokasi itulah yang kini menjadi tempatnya berdagang, di Lapangan Tembak Senayan. Warungnya berdiri di bagian belakang, dengan ukurannya satu petak atau 4 x 4 meter persegi. Letaknya, berseberangan dengan Jalan Palmerah Selatan, bukan di pintu masuk Pujasera.
Sengaja, oleh Arifin, suasana dibuat sama. Bangku dan meja ditata sederhana. Ruangan pun seadanya. Tak ada pendingin, hanya ada kipas angin di beberapa sudut. Untuk memberi kesan lega, ia menaruh kaca pada sepanjang dinding pojok.
Awalnya, ia optimistis lapo akan laku.
“Mikirnya karena lokasi pindahnya dekat, kami akan cepat ramai. Ternyata tidak demikian,” ujar Arifin.
Ia harus berlapang dada menerima kenyataan bahwa pelanggan tak sebanyak dahulu. Sebab, saat itu jalan belakang belum dibuka.
"Jadi ini memang bukan akses yang kerap dilewati orang,” ujarnya.
Keadaan sepi tersebut, kata Arifin, membuat banyak pedagang stres kemudian menutup usahanya. Bahkan, ada pedagang martabak yang sampai sakit, kemudian meninggal.
Beda dengan pedagang yang memilih tutuo, Arifin memiliki keyakinan kalau suatu hari nanti tempat itu akan ramai. Ia pun berani mengambil lahan warung tutup yang bersisian dengan rumah makannya. “Tiga kalilah kami memperbesar warung ini,” ujarnya.
Kondisi sepi berlangsung hingga 7 tahun. Manajemen Gelora Bung Karno (GBK) pun sebagai pengelola tidak mengambil uang sewa. “Mereka mengerti kalau usaha kami hampir mati. Tak ada uang,” katanya.
Sampai pada akhirnya, pengunjung ramai berdatangan. Jalan itu jadi akses menuju kawasan Jakarta Selatan. Terlebih lagi, letaknya dekat dengan Stasiun Palmerah.
“Tak disangka lokasi ini jadi terasa begitu strategis dan bisa dilewati banyak orang,” ujarnya.
Barulah setelah itu, Arifin dan keluarga mencicipi ranum usaha tersebut. Pada jam makan siang, orang bisa mengantre untuk makan di tempat. Bahkan, kalau sudah dekat waktu Idul Fitri, jumlah pengunjung bisa berkali-kali lipat.
“Lapo ini penghasilan utama saya. Dari sini saya bisa menyekolahkan enam anak saya,” kata dia.
Dari Lapo, omzet satu bulan yang bisa diraup Arifin sejumlah Rp 80 juta. Dia harus membayar 15 karyawan, uang sewa, dan pembelian bahan baku rutin. Keuntungan bersih yang dipetiknya hanya 25 persen.