Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menengok Keroncong Tugu yang Berawal sebagai Musik Pelepas Lelah

Kompas.com - 30/01/2017, 08:52 WIB
Cahyu Cantika Amiranti

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Sejarah keroncong Tugu tak terlepas kaitannya dengan cerita kedatangan masyarakat keturunan Portugis dari Malaka (Malaysia) ke Batavia (Jakarta) pada 1661. Terdapat 23 kepala keluarga yang diasingkan oleh Belanda ke Tugu, Jakarta Utara.

Namun, kemudian warga Tugu dianggap "mati" oleh pemerintah Belanda karena daerahnya masih seperti hutan lebat, banyak binatang buas. Masyarakat Tugu sendiri pun merasa kekurangan hiburan di tengah wilayah terpencil ini.

"Ketika di Malaka, warga Tugu zaman dulu terbiasa hura-hura. Saat sampai di Tugu, tidak ada hiburan yang bisa mereka dapatkan," ujar Ketua Orkes Poesaka Kerontjong Toegoe Cafrinho, Guidho Quiko, kepada Kompas.com, pekan lalu.

Hingga akhirnya para leluhur warga Tugu membuat alat musik sendiri dari pohon bulat. Mereka membuat sebuah alat musik kecil yang menyerupai ukulele dan diberi nama macina.

"Macina tersebut yang kemudian disebut masyarakat sekitar pada awal abad 17 sebagai keroncong karena bunyinya 'crang-crong'," ucap Guidho.

Sejak itu, musik menjadi hiburan warga untuk menghilangkan rasa lelah sepulang mencari nafkah. Warga yang bisa bermusik akan memainkan alat musik dan bernyanyi, kemudian warga lainnya akan datang untuk bermusik bersama.

Selanjutnya, kebiasaan ini menjadi tradisi dan tersebar ke daerah lain. Alat musik yang dibuat pun bertambah. Mulai dari yang paling kecil macina, prounga, hingga jitera berukuran paling besar.

Lambat laun, orang Belanda juga ikut menyukai musik keroncong. Mereka kerap ikut berkumpul dan membawa alat musik yang berasal dari Eropa.

Selain itu, tak jarang para pemusik keroncong Tugu diundang ke acara kenegaraan yang diadakan pemerintah Belanda.

"Namun, pemusik keroncong Tugu tetap menjaga orisinalitas. Banyak pihak luar yang ingin mengembangkan gaya bermusik kami dengan cara mereka, tetapi kami tidak mau," kata Guidho.

Ketika musik keroncong Tugu sudah semakin dikenal, pada 1925 dibentuk organisasi. Tokoh yang pertama kali membentuk organisasi ini adalah Jozef Quiko. Dia memanggil para pemuda Tugu untuk bergabung di satu organisasi bernama Orkes Poesaka Kerontjong Moresco Toegoe-Anno 1661.

Selanjutnya, grup keroncong tersebut mulai memainkan lagu ciptaan sendiri yang masih menggunakan bahasa Portugis. Selain itu, diciptakan juga lagu-lagu berbahasa Portugis Tugu atau yang biasa disebut Papia Tugu. Lagu berbahasa Belanda pun tak terlewat diciptakan.

"Lagu berbahasa Betawi dan Melayu sering kami mainkan pula," ujar Guidho.

Cahyu Cantika Amiranti Orkes Poesaka Kerontjong Toegoe saat ditemui sedang menggelar latihan.
Sempat vakum

Tahun 1935, kepemimpinan grup diserahkan ke Jacobus Guiko, adik dari Jozef Quiko, karena Jozef sibuk mengurus bisnis kelontong. Perubahan pemimpin ini tidak mengubah kebiasaan latihan dan penampilan grup. Grup tetap sering tampil di acara pernikahan atau acara panen raya.

Halaman:



Terkini Lainnya

Keluarga Tolak Otopsi Jenazah Brigadir RAT yang Bunuh Diri di Mampang

Keluarga Tolak Otopsi Jenazah Brigadir RAT yang Bunuh Diri di Mampang

Megapolitan
Pemilik Rumah Tempat Brigadir RAT Bunuh Diri Minta Publik Tak Berasumsi

Pemilik Rumah Tempat Brigadir RAT Bunuh Diri Minta Publik Tak Berasumsi

Megapolitan
Jenazah Brigadir RAT Telah Dibawa Pihak Keluarga dari RS Polri Kramat Jati

Jenazah Brigadir RAT Telah Dibawa Pihak Keluarga dari RS Polri Kramat Jati

Megapolitan
Proyek LRT Jakarta Rute Velodrome-Manggarai Masuk Tahap Pemasangan Girder

Proyek LRT Jakarta Rute Velodrome-Manggarai Masuk Tahap Pemasangan Girder

Megapolitan
Polisi Sebut Brigadir RAT Bunuh Diri di Mampang saat Sedang Cuti

Polisi Sebut Brigadir RAT Bunuh Diri di Mampang saat Sedang Cuti

Megapolitan
Pemprov DKI Siapkan Stok Blanko KTP untuk Pemilih Pemula Pilgub 2024

Pemprov DKI Siapkan Stok Blanko KTP untuk Pemilih Pemula Pilgub 2024

Megapolitan
Sebelum Tewas, Brigadir RAT Sepekan Tinggal di Jakarta

Sebelum Tewas, Brigadir RAT Sepekan Tinggal di Jakarta

Megapolitan
Partisipasi Pemilih di Jakarta pada Pemilu 2024 Turun Dibandingkan 2019

Partisipasi Pemilih di Jakarta pada Pemilu 2024 Turun Dibandingkan 2019

Megapolitan
Pemerintah DKJ Punya Wewenang Batasi Kendaraan Pribadi di Jakarta, DPRD Minta Dilibatkan

Pemerintah DKJ Punya Wewenang Batasi Kendaraan Pribadi di Jakarta, DPRD Minta Dilibatkan

Megapolitan
Dua Begal di Depok Lakukan Aksinya di Tiga Tempat dalam Sehari

Dua Begal di Depok Lakukan Aksinya di Tiga Tempat dalam Sehari

Megapolitan
Unggah Foto Gelas Starbucks Tutupi Kabah Saat Umrah, Zita Anjani: Saya Berniat Mancing Obrolan...

Unggah Foto Gelas Starbucks Tutupi Kabah Saat Umrah, Zita Anjani: Saya Berniat Mancing Obrolan...

Megapolitan
Jenazah Brigadir RAT Belum Diotopsi, Polisi Tunggu Keputusan Keluarga

Jenazah Brigadir RAT Belum Diotopsi, Polisi Tunggu Keputusan Keluarga

Megapolitan
Keluarga Brigadir RAT yang Meninggal Bunuh Diri Tiba di RS Polri Kramat Jati

Keluarga Brigadir RAT yang Meninggal Bunuh Diri Tiba di RS Polri Kramat Jati

Megapolitan
Dua Begal yang Bacok Korban di Depok Incar Anak Sekolah

Dua Begal yang Bacok Korban di Depok Incar Anak Sekolah

Megapolitan
Pemprov DKI Disarankan Ambil Alih Pengelolaan JIS, TIM, dan Velodrome dari Jakpro

Pemprov DKI Disarankan Ambil Alih Pengelolaan JIS, TIM, dan Velodrome dari Jakpro

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com