JAKARTA, KOMPAS.com - Sejarah keroncong Tugu tak terlepas kaitannya dengan cerita kedatangan masyarakat keturunan Portugis dari Malaka (Malaysia) ke Batavia (Jakarta) pada 1661. Terdapat 23 kepala keluarga yang diasingkan oleh Belanda ke Tugu, Jakarta Utara.
Namun, kemudian warga Tugu dianggap "mati" oleh pemerintah Belanda karena daerahnya masih seperti hutan lebat, banyak binatang buas. Masyarakat Tugu sendiri pun merasa kekurangan hiburan di tengah wilayah terpencil ini.
"Ketika di Malaka, warga Tugu zaman dulu terbiasa hura-hura. Saat sampai di Tugu, tidak ada hiburan yang bisa mereka dapatkan," ujar Ketua Orkes Poesaka Kerontjong Toegoe Cafrinho, Guidho Quiko, kepada Kompas.com, pekan lalu.
Hingga akhirnya para leluhur warga Tugu membuat alat musik sendiri dari pohon bulat. Mereka membuat sebuah alat musik kecil yang menyerupai ukulele dan diberi nama macina.
"Macina tersebut yang kemudian disebut masyarakat sekitar pada awal abad 17 sebagai keroncong karena bunyinya 'crang-crong'," ucap Guidho.
Sejak itu, musik menjadi hiburan warga untuk menghilangkan rasa lelah sepulang mencari nafkah. Warga yang bisa bermusik akan memainkan alat musik dan bernyanyi, kemudian warga lainnya akan datang untuk bermusik bersama.
Selanjutnya, kebiasaan ini menjadi tradisi dan tersebar ke daerah lain. Alat musik yang dibuat pun bertambah. Mulai dari yang paling kecil macina, prounga, hingga jitera berukuran paling besar.
Lambat laun, orang Belanda juga ikut menyukai musik keroncong. Mereka kerap ikut berkumpul dan membawa alat musik yang berasal dari Eropa.
Selain itu, tak jarang para pemusik keroncong Tugu diundang ke acara kenegaraan yang diadakan pemerintah Belanda.
"Namun, pemusik keroncong Tugu tetap menjaga orisinalitas. Banyak pihak luar yang ingin mengembangkan gaya bermusik kami dengan cara mereka, tetapi kami tidak mau," kata Guidho.
Ketika musik keroncong Tugu sudah semakin dikenal, pada 1925 dibentuk organisasi. Tokoh yang pertama kali membentuk organisasi ini adalah Jozef Quiko. Dia memanggil para pemuda Tugu untuk bergabung di satu organisasi bernama Orkes Poesaka Kerontjong Moresco Toegoe-Anno 1661.
Selanjutnya, grup keroncong tersebut mulai memainkan lagu ciptaan sendiri yang masih menggunakan bahasa Portugis. Selain itu, diciptakan juga lagu-lagu berbahasa Portugis Tugu atau yang biasa disebut Papia Tugu. Lagu berbahasa Belanda pun tak terlewat diciptakan.
"Lagu berbahasa Betawi dan Melayu sering kami mainkan pula," ujar Guidho.
Tahun 1935, kepemimpinan grup diserahkan ke Jacobus Guiko, adik dari Jozef Quiko, karena Jozef sibuk mengurus bisnis kelontong. Perubahan pemimpin ini tidak mengubah kebiasaan latihan dan penampilan grup. Grup tetap sering tampil di acara pernikahan atau acara panen raya.