Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Agar "Sindrom P13" karena Macet Tak Lagi Menjangkiti Warga Jabodetabek

Kompas.com - 08/02/2017, 07:48 WIB
Alsadad Rudi

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) mencatat saat ini jumlah perjalanan dengan kendaraan di wilayah Jabodetabek setiap harinya mencapai 40,5 juta perjalanan. Namun, dari jumlah tersebut, hanya 15 persen yang merupakan perjalanan dengan menggunakan angkutan umum.

Terlalu banyaknya pengguna kendaraan pribadi dinilai bukan sebuah situasi yang baik. Sebab kondisi ini menyebabkan meningkatnya volume kendaraan di jalan yang berimbas pada kemacetan dan lamanya waktu tempuh.

Tak cukup sampai di situ, lamanya waktu tempuh juga menyebabkan membengkaknya biaya perjalanan. Biaya perjalanan yang dimaksud adalah biaya bahan bakar untuk mereka yang menggunakan kendaraan pribadi, baik sepeda motor maupun mobil.

Pengamat perkotaan, Yayat Supriyatna, menilai lamanya waktu tempuh yang berimbas pada membengkaknya biaya perjalanan memunculkan suatu masalah yang dia istilahkan sebagai "sindrom P13".

Yayat berujar P13 adalah kepanjangan dari "pergi pagi pulang petang pantat panas pinggang pegal pala pusing pendapatan pas pasan".

Menurut Yayat, saat ini banyak warga yang terbebani tingginya biaya perjalanan untuk menuju tempat kerja di Jakarta dari tempat tinggalnya di sekitar Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek). Beban perjalanan berimbas pada terpangkasnya penghasilan.

Yayat menilai cukup banyak warga yang gajinya hanya setara upah minimum provinsi (UMP). Namun biaya perjalanan yang harus mereka keluarkan hampir sepertiga dari gajinya itu.

Dia kemudian mencontohkan pekerja yang hanya digaji Rp 3,1 juta dan harus mengeluarkan biaya perjalanan mencapai sekitar Rp 1 juta.

"Kalau seperti itu nabungnya di mana? Kalau bagi saya itu sindrom P13. Pergi pagi pulang petang pantat panas pinggang pegal pala pusing pendapatan pas-pasan," kata Yayat dalam diskusi "Angkutan Permukiman Solusi Mengurai Kemacetan" di Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (7/2/2017).

Menurut Yayat, sindrom P13 merupakan masalah besar. Dia menilai ada efek domino yang menyebabkan hal tersebut. Yayat menyebut ada tiga komponen yang menyebabkan terpangkasnya pendapatan warga yang bermukim di kawasan Jabodetabek.

Ketiganya yakni biaya perjalanan, biaya hunian, dan biaya hidup. Ia menyebut persoalan dimulai dari biaya hunian. Menurut Yayat, semakin mahalnya harga tanah di Jakarta telah menyebabkan banyak orang memilih pindah ke daerah-daerah di pinggir Jakarta.

"Harga rumah yang semakin mahal menyebabkan orang terpingggirkan. Di tengah kota pajaknya tinggi," ujar Yayat.

Menurut Yayat, permasalahan berlanjut saat kawasan permukiman baru yang ada di daerah-daerah sekitar Jakarta tak dilengkapi angkutan umum yang memadai. Kondisi ini yang kemudian memaksa warga untuk memiliki kendaraan pribadi, baik sepeda motor atau mobil.

"Makanya sekarang muncul tsunami motor di mana-mana. Makin lama pengguna kendaraan pribadi semakin meningkat," ucap Yayat.

Karena itu, dia menilai perlu dibangun sebuah sistem angkutan umum yang dapat membuat warga tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi besar dan membuat perjalanan menjadi lebih efektif dan efisien.

Halaman:


Terkini Lainnya

Suasana Haru Iringi Keberangkatan Jemaah Haji di Kota Bogor

Suasana Haru Iringi Keberangkatan Jemaah Haji di Kota Bogor

Megapolitan
Sudah Dievakuasi, Bangkai Pesawat Latih yang Jatuh di BSD Dibawa ke Bandara Pondok Cabe

Sudah Dievakuasi, Bangkai Pesawat Latih yang Jatuh di BSD Dibawa ke Bandara Pondok Cabe

Megapolitan
Tiga Jenazah Korban Pesawat Jatuh Telah Dibawa Pulang Keluarga dari RS Polri

Tiga Jenazah Korban Pesawat Jatuh Telah Dibawa Pulang Keluarga dari RS Polri

Megapolitan
Marak Kasus Curanmor di Tanjung Priok, Polisi Imbau Masyarakat Kunci Ganda Kendaraan

Marak Kasus Curanmor di Tanjung Priok, Polisi Imbau Masyarakat Kunci Ganda Kendaraan

Megapolitan
'Berkah' di Balik Sumpeknya Macet Jakarta, Jambret Pun Terjebak Tak Bisa Kabur

"Berkah" di Balik Sumpeknya Macet Jakarta, Jambret Pun Terjebak Tak Bisa Kabur

Megapolitan
Ibu di Tanjung Priok Dikira Penculik, Ternyata Ingin Cari Anak Kandung yang Lama Terpisah

Ibu di Tanjung Priok Dikira Penculik, Ternyata Ingin Cari Anak Kandung yang Lama Terpisah

Megapolitan
Dituduh Ingin Culik Anak, Seorang Ibu di Tanjung Priok Diamuk Warga

Dituduh Ingin Culik Anak, Seorang Ibu di Tanjung Priok Diamuk Warga

Megapolitan
KNKT Bakal Cek Percakapan Menara Pengawas dan Pilot Pesawat yang Jatuh di BSD

KNKT Bakal Cek Percakapan Menara Pengawas dan Pilot Pesawat yang Jatuh di BSD

Megapolitan
Mekanisme Pendaftaran PPDB di Jakarta 2024 dan Cara Pengajuan Akunnya

Mekanisme Pendaftaran PPDB di Jakarta 2024 dan Cara Pengajuan Akunnya

Megapolitan
Cerita Saksi Mata Jatuhnya Pesawat di BSD, Sempat Berputar-putar, Tabrak Pohon lalu Menghantam Tanah

Cerita Saksi Mata Jatuhnya Pesawat di BSD, Sempat Berputar-putar, Tabrak Pohon lalu Menghantam Tanah

Megapolitan
Jadwal dan Lokasi Samsat Keliling di Jakarta 20 Mei 2024

Jadwal dan Lokasi Samsat Keliling di Jakarta 20 Mei 2024

Megapolitan
Daftar Lokasi SIM Keliling di Jakarta 20 Mei 2024

Daftar Lokasi SIM Keliling di Jakarta 20 Mei 2024

Megapolitan
Modus Maling Motor di Jakut, Cegat Korban di Tengah Jalan dan Tuduh Tusuk Orang

Modus Maling Motor di Jakut, Cegat Korban di Tengah Jalan dan Tuduh Tusuk Orang

Megapolitan
Detik-detik Terjatuhnya Pesawat Latih di BSD, Pilot Serukan 'Mayday!' lalu Hilang Kontak

Detik-detik Terjatuhnya Pesawat Latih di BSD, Pilot Serukan "Mayday!" lalu Hilang Kontak

Megapolitan
Saksi Sebut Satu Korban Pesawat Jatuh di BSD Sempat Minta Tolong Sebelum Tewas

Saksi Sebut Satu Korban Pesawat Jatuh di BSD Sempat Minta Tolong Sebelum Tewas

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com