Amartya Sen berargumen bahwa pengambilan keputusan seorang individu pada realitasnya tidak hanya terkait dengan kepentingan pribadinya saja. Sen menambahkan bahwa simpati dan komitmen merupakan elemen penting yang juga diperhatikan dalam pengambilan keputusan individu. Adanya simpati dan komitmen bahkan terkadang membuat individu mengambil keputusan yang sebenarnya merugikan dirinya secara personal.
Dalam kasus Pilkada DKI, sesungguhnya pemilih juga memiliki pertimbangan komitmen dan simpati ini. Keengganan pemilih memilih salah satu kandidat yang menghina agama lain bukan merupakan pertanda bangkitnya politik identitas. Alih-alih, tindakan tersebut merupakan bentuk komitmennya terhadap nilai yang dia anut serta komitmennya untuk menjaga kerukunan sosial.
Pun keengganan pemilih mendukung kandidat yang sering emosional dan memaki orang lain bukan merupakan pertanda kehadiran pemilih emosional. Pemilih tersebut pada dasarnya sedang bersimpati dengan orang lain yang terkena makian sang kandidat. Dia menempatkan diri pada posisi orang tersebut dan ini hanya bisa terjadi karena sifat manusia sebagai makhluk sosial.
Memutuskan sesuatu membutuhkan energi untuk mengumpulkan informasi dan berpikir. Tak jarang seorang agen rasional akan mengabaikan beberapa hal yang mungkin krusial di masa mendatang demi keuntungan jangka pendek. Itulah kenapa dalam mengukur rasionalitas ada asumsi keterbatasan kognitif yang menyebabkan rasionalitas pemilih tidak sempurna.
Politik uang menjadi berbahaya dalam demokrasi sebab ia mengarahkan pemilih pada keuntungan-keuntungan jangka pendek dan mengabaikan risiko pilihan di masa mendatang. Berkembangnya model politik uang seperti pembagian sembako, bingkisan uang, maupun menjanjikan uang tunai ketika kandidat tertentu menang menunjukkan politik uang terus ada.
Sungguh sangat disayangkan ketika politik uang tidak ditangani oleh aparat secara serius. Padahal dampak kerusakannya sama dengan dampak kerusakan yang disebabkan korupsi.
Fitnah yang berkembang dalam pilkada juga dapat membuat pemilih mengalami misinformasi. Misinformasi ini menyebabkan keputusan yang diambil pun menjadi tidak sesuai dengan tujuan awal pemilih. Aparat perlu menindak tegas setiap penyebaran fitnah dalam pelaksanaan pilkada.
Mendekati masa pemungutan suara, perhatian publik akan banyak tertuju pada bagaimana pemilih memutuskan masa depan DKI Jakarta.
Dalam beberapa rilis lembaga survei, publik dapat melihat bagaimana ketatnya elektabilitas dua pasang calon Pilkada DKI. Ini berarti sedikit perbedaan suara saja dapat memengaruhi keseluruhan akhir pemilihan. Maka dari itu, peran penyelenggara pemilu serta aparat keamanan akan menjadi sangat krusial.
Fokus aparat dan penyelenggara harusnya ditujukan untuk mengawal energi berpikir publik dalam mengambil keputusan yang akan memengaruhi jangka panjang DKI Jakarta. Aparat perlu menindak tegas semua bentuk fitnah dan politik uang, alih-alih mengawalnya. Sebab, fitnah dan politik uang inilah yang sesungguhnya merusak rasionalitas pemilih.
Pada akhirnya, semua pemilih akan melakukan rasionalisasi terhadap pilihannya masing-masing. Hasil pilihan ini haruslah diterima oleh seluruh pihak, baik yang menang maupun yang kalah. Sebab, itulah esensi demokrasi, di mana ada penghormatan terhadap keputusan tiap individu warga yang dibuat secara bebas, tanpa adanya penghakiman terhadap pilihan tersebut.