Sambil menjahit terpal yang akan digunakan di perahunya, Juanda melanjutkan kisah sedihnya.
Ombak yang menerjang kediamannya sudah terjadi berulang kali sejak lama. Akhirnya, kediaman Juanda tak kuat lagi menahan terjangan ombak.
Akhirnya Juanda pindah ke tanah yang dibelinya dari seorang teman dengan harga Rp 2 juta yang terletak di dekat muara.
Namun, di lokasi baru, kediaman Juanda masih diterjang ombal terutama di malam hari.
"Kalau malam air pasang besar. Pindah masih tetap kena juga. Air pasang kalau belum tinggi kira-kira semata kaki," ujar Juanda.
"Kalau nanti sekitar November tingginya bisa setinggi dengkul," lanjut dia.
Baca: Abrasi, Rumah Warga yang 7 Tahun Lalu Berjarak 1 Km dari Pantai Pun Ambruk
Sebelum tinggal di muara, Juanda pernah tinggal di bagian tengah desa. Namun, dia memutuskan pindah karena tak merasa nyaman dengan suasana yang terlalu ramai.
Dia mengakui, istrinya tak setuju jika mereka pindah lagi ke dekat muara karena khawatir akan dihantam gelombang laut dan kediaman mereka hancur lagi.
Meski deikian pria asli Desa Pantai Sederhana ini kukuh pada pendiriannya untuk menetap di wilayah muara laut.
"Sekarang sih untungnya masih ombak timur, jadi enggak terlalu besar. Saya pilih tinggal di sini karena lebih tenang," tambah Juanda.
"Selain itu, untuk pekerjaan lebih menguntungkan karena saya enggak akan terlambat," tambah dia.
Meski demikian Juanda mengakui daerah tempat dia tinggal itu sudah ditinggalkan penduduk sejak 2004 karena terendam air laut.
Bahkan dulu di sekitar kediamannya terdapat sebuah ruas jalan aspal yang kini juga telah hilang terendam air.
Alhasil, untuk menuju kediaman Juanda bukan perkara mudah karena harus melakukan jalan setapak yang dibuat dari bambu dan tanah basah yng terendam air laut.
Meski terjangan ombak dan abrasi sudah menghancurkan banyak rumah warga Desa Pantai Harapan tak berusaha pindah ke daerah lain yang lebih aman.
Bukan tak ingin pergi, tetapi alasan utama mereka bertahan adalah karena tak memiliki uang untuk biaya pindah rumah.
"Khawatir sih, bingung juga saya. Masalahnya kan di ongkos, saya enggak punya uang dan mau pindah ke mana lagi?" kata Juanda
Sementara itu, Ali (80) yang hampir seumur hidupnya tinggal di desa itu mengatakan dulu rumahnya memiliki nomor delapan.
Namun, kini menjadi nomor satu setelah tujuh rumah tetangganya hilag diterjang ombak. Meski nasibnya terancam sama dengan para tetangganya, Ali juga tak bisa berbuat apa-apa.
"Kalau punya modal ya bisa pindah. Kalau saya bagaimana mau pindah, enggak punya modal. Saya jadi nelayan sudah sejak kecil," kata Ali.
Alhasil Ali kini berusaha sekuat tenaga untuk mengurangi air laut yang masuk ke kediamannya. Dia membangun semacam pagar penghalang air dengan menggunakan bambu.
Baca: Abrasi, Kampung Penghasil Atap Rumbia Ini Terancam "Hilang"
"Ini semua pakai bambu dan dari sisa-sisa barang lain di laut dari depan sampai belakang agar tak terkena ombak. Tapi tetep aja kena," kata Ali.
Ali, Juanda, dan sejumlah warga Desa Pantai Sederhana yang menjadi korban terjangan ombak dan abrasi kini hanya bisa pasrah.
Mereka berharap pemerintah bisa memberi bantuan agar mereka bisa hidup tenteram tak lagi dihantui ancaman terjangan ombk.
"Sekarang ini abrasinya makin parah. Saya ingin pemerintah setidaknya bisa membut bendungan seperti di desa lain, kata Juannda.