Artidjo merupakan hakim agung yang kerap menangani kasus-kasus berat, khususnya kasus korupsi. Sejumlah kasus korupsi yang melibatkan pejabat dan politisi pernah ditangani Artidjo, sebut saja Luthfi Hasan Ishaaq, Angelina Sondakh, Akil Mochtar, hingga Anas Urbaningrum.
Oleh Artidjo, mereka dijatuhi hukuman penjara lebih lama ketimbang putusan di pengadilan tingkat pertama. Bahkan, ada beberapa terdakwa yang mencabut permohonan kasasi ketika mengetahui Artidjo yang akan menangani perkaranya.
Senin kemarin, putusan MA sudah keluar. MA menolak PK yang diajukan Ahok. Putusan MA itu berselang sebulan dari sidang PK pertama yang digelar di PN Jakarta Utara pada 26 Februari.
Majelis hakim tidak mengabulkan seluruh alasan yang diajukan Ahok dalam PK tersebut. Terkait alasan lebih rinci, jubir MA, Suhadi masih enggan menjelaskan.
Upaya pengajuan PK Ahok tersebut merupakan yang pertama dan terakhir baginya.
"Kalau melihat apa yang sudah digariskan Mahkamah Agung itu adalah final, satu kali. Hanya satu kali dan tidak boleh ada PK lain," kata Suhadi.
Baca juga : Setelah PK Ditolak MA, Ahok Tak Bisa Mengajukan Lagi
Pada 2014, MA menerbitkan surat edaran (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pembatasan PK, yang pada intinya memperbolehkan peninjauan kembali lebih dari sekali. Sejumlah terdakwa juga tercatat pernah mengajukan PK lebih dari sekali, seperti terpidana mati kasus narkoba Zainal Abidin.
Suhadi mengatakan, alasan Ahok tidak lagi bisa mengajukan PK karena MA melihat kondisi yang ada, manajemen perkara ada UU lain yang menentukan satu kali.
"UU MA, UU Kekuasaan Kehakiman, putusan PK tidak boleh dilakukan PK," ujarnya.
Suhadi menjelaskan, PK lebih dari sekali diupayakan terpidana mati lantaran putusan hukuman mati tidak kunjung dieksekusi kejaksaan. PK juga menjadi cara mengulur-ulur hukuman.
"Kematian tidak bisa ditukar dengan apa pun, jadi orang berusaha menghindari," katanya.
Keadaan yang bisa membuat perkara ditinjau kembali lebih dari sekali yakni jika ada putusan yang bertentangan satu dengan lain. Misalnya, penggugat menang di pengadilan tata usaha negara (PTUN), tetapi kalah di ranah perdata sehingga tidak bisa dieksekusi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.