Dunia psikologi menjulukinya ‘self-fullfilling prophecy’ alias nubuat yang digenapi sendiri.
Di samping pembunuhan fisik, bahasa yang tidak santun bisa membunuh karakter seseorang. Percakapan mesum yang menguar dari wilayah pribadi ke wilayah umum membuat seseorang bisa tersandung hukum.
Percakapan mesum yang dilontarkan Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram, M, kepada Baiq Nuril Maknun yang dia rekam sebagai sarana jaga-jaga pertahanan diri ternyata jadi membesar setelah diserahkan kepada seseorang dan dilaporkan ke dinas pendidikan.
Meskipun lolos di pengadilan daerah, Baiq Nuril dinyatakan bermasalah di pengadilan tinggi dan dihukum 6 bulan serta membayar denda Rp 500 juta. Baca juga: Saat Nuril Masih Memburu Keadilan (1), Ditunda Beberapa Jam, Kejari Mataram Antar Surat Panggilan
Hukuman yang dirasa tidak adil oleh masyarakat baik di dunia nyata maupun maya—warganet—menuai simpati. Koin Nuril sampai tulisan ini saya buat, sudah tembus Rp 200 juta.
Mengapa aksi ini dengan begitu cepat membesar? Karena hukum dianggap tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Sang kepala sekolah yang dianggap ‘modus’ dan ‘menjurus’ ke tindakan asusila lewat percakapan seksnya justru mendapat promosi.
Rakyat sudah semakin cerdas sehingga bisa membedakan mana yang layak dikasihani dan dibantu dan mana yang playing victim.
Mungkin karena terlalu jengkelnya dengan maraknya pemakaian bahasa politik yang mengancam inilah Jokowi sampai menggunakan kata ‘sontoloyo’ dan ‘genderuwo’ yang viral itu.
Jika seseorang tidak bisa menjatuhkan lawan karena kinerja dan rekam jejaknya, bisa saja dia memakai strategi argumentum ad hominem, yaitu mencari—lebih tepatnya mencari-cari—celah atau kesalahan orang itu.
Tudingan sebagai pengikut PKI, keturunan Tionghoa, antek-antek aseng dan plonga-plongo merupakan contoh yang gampang sekali dicari jejak digitalnya.
Lalu, apakah tudingan ‘plonga plongo’ bisa diredakan dengan ‘sontoloyo’ dan ‘genderuwo’?
Tampaknya tidak. Yang terjadi justru perang puisi antara para pendukungnya. Jika di film “Dead Poets Society” John Keating—yang diperankan dengan apik oleh Robin Williams—membuat puisi yang “mati” bagi sebagian murid generasi milenial menjadi “hidup” lewat komunikasi yang kreatif, perang puisi antarpolitisi justru membuat kedua kubu sama-sama mati. Menang jadi arang, kalah jadi abu.
Persis seperti kata-kata Duryudana kepada Bima yang mengalahkannya di Padang Kurusetra: “Apa yang didapat dari kemenangan ini selain tumpukan abu di wajahmu?”
Ketimbang mengharapkan munculnya phoenix dari abu kematiannya sendiri, bukankah lebih baik jika kita mencegahnya lebih dulu lewat pemikiran, sikap, ucapan, dan tindakan yang terpadu?
Daripada memviralkan lagu saling serang bukankah lebih baik kita berdendang:
I'm only one call away
I'll be there to save the day
Superman got nothing on me
I'm only one call away
Memakai analogi Charlie Puth, bangsa ini tidak butuh Superman. Ibu Pertiwi butuh, meminjam istilah Suster Teresa, orang biasa seperti kita yang melakukan pekerjaan yang luar biasa. Itulah call of duty kita sebagai orang Indonesia!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.